Rabu, 16 Juni 2010

Mau Pasang Iklan Gratis?

Apabila mau pasang iklan secara gratissss, silahkan tinggal komentar anda di buku tamu atau untuk lebih jelasnya silahkan kirim email: ufimario@yahoo.com
mumpun gratissss
salam sukses....
wassalam

Read More......

Sabtu, 12 Juni 2010

SEO Tools

Check your blog page loading speed, Google Pagerank, Alexa rank, backlinks and broken links right here on Blogger Sentral. Just enter your domain or your web page URL in the appropriate text box and click Check! button. Results will be displayed below the text box.

All tools are powered by iWEBTOOL



Read More......

Sabtu, 05 Juni 2010

Search This Blog

Postingan kali ini tentang Search This Blog, dimana Search This Blog ini merupakan fasilitas yang disediakan oleh Blogger yang didukung oleh google sebagai mesin pencari yang dapat ditempatkan di dalam blog kita.
Karena saya sudah menggunakannya, anda dapat mencobanya di blog saya ini CARI BLOG INI
Untuk mendapatkannya silahkan ikuti langkah-langkah berikut :

  1. Login di blogger dengan ID anda
  2. Klik menu layout/rancangan
  3. Klik elemen laman
  4. Klik tambahkan sebuah elemen laman/tambahkan gadget
  5. Klik kotak/tambahkan penelurusan baru
  6. Ceklis semua kota yang ada lalu simpan
Kemudian atur posisi dimana anda akan menenpatkannya, klik pratinjau kalau sudah yakin dengan posisinya lalu simpan dan liat blog anda.

Selesai
Selamat mencoba.......

Read More......

Jumat, 04 Juni 2010

Meraup Pundi-pundi Rupiah Lewat Komisigratis

Hari ini saya mencoba peruntungan dengan mendaftar di komisigratis postingan ini sebagai undangan bagi teman-teman untuk dapat bergabung di bisnis online ini, yang mana bisnis ini tanpa dipungut biaya alias gratis, teman-teman cuma tinggal mengklik di komisigratis, sebelum mendaftar saya sarankan teman-teman membaca dulu PERSYARATAN dan PROSEDUR KERJA program ini, kalau teman-teman sudah menyetujuinya tinggal klik daftar sekarang di komisigratis
Komisigratis ini memakai system PAID PER LEAD dimana mereka akan membayar membernya jika bisa meng-invite/ mengajak orang bergabung di komisigratis melalui link referalnya. Program ini 100% Gratis.
Jika teman-teman tertarik dan pingin bergabung silahkan klik di komisigratis




Read More......

Review NegeriAds.Com

Dear teman-teman semua,..

Pada posting kali ini, saya ingin menyampaikan sebuah kabar gembira untuk Anda semua. Kabar gembiranya adalah: telah diluncurkan sebuah jaringan PPC baru, bernama NegeriAds.Com.

PPC Ads Network lagi? Betul sekali. Tapi tentu, jaringan baru ini tidak akan seperti yang lainnya. Jaringan PPC ini akan lebih user friendly, responsif dan tentunya juga lebih membawa untung untuk semua pihak.

Bagi Anda yang tertarik untuk menjadi advertiser, untuk menyebarkan iklan tentang produk-produk Anda, atau produk-produk yang Anda affiliasikan, bisa mulai mencoba untuk mengiklankannya di jaringan NegeriAds.Com.

Cost per Click (CPC) sangat murah, hanya mulai Rp 400 / klik / iklan. Dan dengan dilindungi oleh sistem Anti Fraud (1 klik / IP / hari), Anda bisa lebih tenang dan yakin bahwa setiap sen uang yang Anda keluarkan tidak sia-sia.

Bagi para affiliate dan reseller, Anda bisa menjadikan jaringan NegeriAds.Com pilihan alternatif (atau bahkan pilihan utama) untuk beriklan. Bagi para product owner, Anda pun bisa melakukan hal serupa plus merekomendasikan jaringan baru ini kepada para affiliate dan reseller Anda (karena persaingan di jaringan PPC lain sudah ketat).

Untuk mereka yang ingin menjadikan blog / website yang sudah dimiliki sebagai sebuah mesin uang, segeralah bergabung menjadi publisher NegeriAds.Com, dan mulai jaring komisi dari klak-klik pengunjung pada blog / website Anda. Pendaftaran publisher 100% GRATIS.

NegeriAds.Com memberikan sharing profit yang adil, 50%-50% antara network owner dan para publisher. Untuk jenis dan ukuran iklan, disediakan berbagai ukuran iklan berbasis text dan gambar dengan standard tampilan yang sesuai dengan ukuran IAB.

Minimum payout hanya Rp 50.000 dan dibayar dalam waktu 7-14 hari setelah request komisi dilakukan. Ini jauh lebih baik daripada banyak jaringan PPC lainnya yang baru melakukan pembayaran setelah 30 atau bahkan 40 hari setelah payout diminta... mana mau nunggu lama-lama.

Pada akhirnya, saya rasa NegeriAds adalah tempat yang tepat bila Anda ingin menjadi seorang Advertoser atau Publisher untuk market Indonesia.

Untuk Anda yang ingin tahu lebih banyak tentang NegeriAds.Com dan ingin mendaftar (sebagai Advertiser atupun Publisher), silakan segera datang ke:

•••> http://negeriads.com/index.php?r=6935

Selamat mencoba menjadi publisher NegeriAds.

Salam sukses untuk Anda!



Read More......

ISLAM DAN BUDAYA LOKAL: MASALAH AKULTURASI TIMBAL BALIK

Oleh : Anzar Abdullah

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran Islam di Nusantara (Indonesia) tentu bersentuhan dengan tradisi-tradisi yang berkembang di kawasan ini. Kehadirannya pun tidak serta merta melenyapkan tradisi yang ada, melainkan mempertahankannya, serta mewarnainya dengan corak keislaman.
Selain bersikap adaptif dengan budaya lokal, corak Indonesia di nusantara ini mewarisi tradisi yang berlangsung dari generasi ke generasi. Perjumpaan guru dan dan kesamaan bahan bacaan dan ritual menjadi titik temu, sehingga tidak terjadi persingguhan berarti dalam melakoni keberagamaannya. Titik temu itulah yang semestinya terus dikukuhkan untuk membangun citra Islam yang akhir-akhir ini mengalami tantangan dengan hadirnya corak berislam baru yang berjarak dengan tradisi nusantara.
Islam yang berkembang di Indonesia adalah merupakan suatu entitas, karena memiliki karakter yang khas, yang membedakan Islam di daerah lain, karena perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang geografis dan budaya yang dipijaknya. Selain itu, Islam yang datang ke Indonesia, juga memiliki strategi dan kesiapan tersendiri, antara lain. Pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi, tradisi apapun tidak akan ditolak, tetapi juga diapresiasi untuk dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah using, sehingga Islam diterima sebagai tradisi dan sebagai agama.

Ajaran Islam mengenai prinsip keadilan dan persamaan dalam tata hubungan kemasyarakatan, membuat Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Hal ini tentu sangat berhubungan dengan sistem pranata masyarakat nusantara pada waktu itu, yakni system kasta yang berasal dari ajaran Hindu-Budha. Dengan memilih Islam, yang mempunyai ajaran-ajaran dasar yang bersifat membebaskan ini, pada dasarnya telah menempatkan diri pada suatu kehidupan keagamaan yang mempunyai asas persamaan, kebebasan dan keadilan. Sehingga kedatangan Islam telah menempatkan mereka dalam posisi terhormat. Prinsip kesamaan (equity) inilah yang menjadi faktor pendorong masyarakat kota dan pantai pesisir nusantara tidak senang dengan ajaran kasta dalam agama Hindu, dan kemudian beralih memeluk Islam.
Islam yang bersifat moderat, toleran dan akomodatif tentu saja tidak dapat dilepaskan dari model-model dakwah yang dilakukan oleh para muballig dan ulama pembawa risalah Islam melalui cara-cara persuasive, adaptif, dan akomodatif, sehingga proses Islamisasi di nusantara berlangsung secara damai. Model dakwah yang dilakukan oleh wali songo (wali Sembilan) merupakan contoh sangat terkenal tentang proses Islamisasi melalui pendekatan persuasive, adaptif, dan akomodatif. Contoh: Metode Sunan Kalijaga sebagai seorang wali dari wali songo menjadikan seni pewayangan sebagai media dakwah yang paling kreatif. Sunan Kali Jaga sangat piawai memainkan peran dalang dalam meramu kesenian pewayangan menjadi hiburan mengasyikkan bagi masyarakat jawa ketika itu. Masyarakat dalam rangka datang untuk menikmati kesenian dan pentas pewayangan, tidak perlu membayar, “tapi cukup dengan membaca “Kalimat Syahadat”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah mengapa Islam dan budaya local dapat beradaptasi, bahkan cenderung bersenyawa dalam konteks ke Indonesia ?
Dari masalah pokok tersebut, lahir beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Mengapa Islam yang datang ke Indonesia mudah diterima oleh masyarakat sebagai agama dan peradaban?
2. Mengapa islamisasi di Indonesia mula-mula berlangsung disekitar masyarakat pesisir?
3. Faktor-faktor apa saja yang mendorong masyarakat Indonesia yang sebelumnya menganut ajaran Hindu-Budha, beralih menganut ajaran Islam?
4. Metode-metode apa saja yang dipakai oleh para pensyair agama Islam dalam melakukan proses islamisasi di Indonesia?
5. Bagaimana bentuk (wajib) akulturasi budaya Islam dan budaya lokal itu berlangsung di Indonesia?
C. Metode Pendekatan dan Analisis
Metode pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini, adalah metode filosofis, teologis, historis dan sosiologis kultural. Metode ini dipakai untuk menelaah, mengkaji, menganalisis hubungan-hubungan kausal antara fakta-fakta sejarah mengenai kajian kritis terhadap proses akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal.

II. PEMBAHASAN
Islam sebagai agama peradaban yang datang ke Indonesia, setelah agama Hindu dan Budha, telah mempengaruhi masyarakat dan budaya lokalnya di kawasan ini dengan sangat luas dan mendalam, dibanding dengan dua agama sebelumnya. Hal itu selain karena Islam mengajarkan persamaan, dan pembebasan; juga karena strategis penyebarannya. Islam disebarkan melalui perangkat budaya dan bahkan warisan agama lama yang masih ada, yang kemudian di islamisasi, yang dalam ushul fiqihnya disebut dengan al-a’dah muhakkamah. (adat yang ditetapkan sebagai hukum Islam) sebagaimana banyak dicontohkan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW.
Sebenarnya proses ini tidak bersifat sepihak dan satu arah, tetapi multi arah. Proses islamisasi budaya lokal oleh para wali sejak dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Maluku, sebenarnya dibarengi dengan proses penusantaraan atau peIndonesiaan nilai-nilai Islam, sehingga keduanya tidak saja bertemu, tetapi melebur menjadi entitas baru yang kemudian disebut dengan Islam Jawi atau Islam nusantara. Dari sini lahir sebagai kitab, serat, babad, dan seni. Dalam pengertian itulah Islam di Indonesia dipahami dan dijadikan istilah dalam gerakan Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah dewasan ini, sebagai pewaris Islam yang dibentuk oleh para wali dan para ulama besar yang datang sesudahnya.
Pengukuhan identitas ini penting, karena kelompok Islam Ahlu Sunnah Waljamaah yang bermazhab Syafi’i ini tidak banyak mencitrakan diri; sebaliknya selalu dicitrakan orang lain secara buruk dan semena-mena, seperti Islam tua, Islam kolot, Islam tradisional, Islam desa, Islam sinkritik, dan sebagainya. Dengan penamaan identitas Islam Nusantara ini, akan mengembalikan Islam pada ciri awalnya yang positi, adaptif, dan apresiatif terhadap masyarakat serta adat kebudayaannya; baru setelah itu diperkenalkan Islam sesuai dengan taraf berpikir dan kesiapan mental mereka.
Sebagai suatu istilah, islam nusantara (Indonesia) juga sangat memudahkan untuk di definisikan, karena istilah nusantara itu selain bersifat jami’ (mencakup), juga mani’ (menegas dan membedakan). Jami’ dalam arti bahwa Islam nusantara, ini meliputi kaum muslimin yang ada dikawasan Asia Tenggara, baik di Indonesia, Thailand, Malaysia, Brunei, Kamboja, Laos, Vietnam dan Filipina. Sedangkan mani’ dalam arti bahwa Islam Nusantara berbeda dengan Islam timur tengah atau Islam di Maghribi dan sebagainya.
Selanjutnya dalam proses terjadinya kontak antara Islam dan budaya local di Indonesia dalam pandangan Ahlus Sunnah Waljamaah, Islam datang ke Indonesia (Islam nusantara) yang telah melalui berbagai negara tersebut, merupakan Islam yang sangat matang; Islam yang sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi berbagai budaya dan tradisi yang dilalui, seperti Persia, India, Cina, Semenanjung Melayu, Filipina, sehingga ketika masuk ke Indonesia (nusantara), mereka dapat menyusun strategi dakwah yang pas. Strategi itu, tidak menimbulkan konflik, bahkan Islam dapat diterima diberbagai pusat kekuasaan.
Sementara pengaruh lingkungan budaya dalam ekspresi keagamaan lebih banyak lagi ditemukan dalam hal-hal praktis dan konkrit. Untuk negeri dan lingkungan budaya Indonesia, sarung merupakan contoh nyata yang dapat ditunjuk dengan mudah. Tidak ada universalitas dalam pakaian sarung. Namun ia secara kultur lokal telah menjadi lambing ke islaman. Maka tidak salah kalau penulis tidak setuju atau kurang senang kepada orang yang menyebut kaum muslim itu (Indonesia) sebagai kaum sarungan; apapun konotasi politiknya, yang ia maksudkan dengan penyebutan itu.
Dalam pengaruh yang lebih mendalam, faktor pengaruh kultur ini terwujud dalam bentuk budaya Arab dan Persia. Telah merupakan suatu ungkapan yang diterima secara umum bahwa kaum muslim sendiri harus mampu membedakan antara apa yang arab dan local. Contoh yang controversial ialah masalah hijab, sebagaimana telah dipermasalahan oleh H. Agussalim disuatu kongres JIB (Jong Islamieten Bond).
Tetapi yang semua orang setuju ialah sarung tersebut di atas, sarung mengandung nilai intrinsik Islam yang universal, yaitu kewajiban menutup aurat. Tetapi ia juga mengandung nilai instrumental yang lokal, yaitu wujud materialnya sebagai pakaian itu sendiri. Sebab ditempat lain, nilai Islam universal menutup aurat itu dilakukan dengan cara yang berbeda: gamis di Arabia, seruwal di India, dan pantaloon (celana) di negeri-negeri barat atau tempat lain yang sedikit banyak terbaratkan.
Akulturasi timbal balik dengan pengaruh yang lebih luas dan mendalam lagi ialah yang terjadi ialah antara budaya Islam dengan Persia. Kenyataan ini digambarkan oleh Imam Al-Gazali dalam karya-karyanya. Meskipun ia kebanyakan menulis dalam bahasa Arab, ia juga menulis beberapa buku dalam bahasa Arab, ia juga menulis beberapa buku bahasa Persia. Begitu juga dalam menjabarkan berbagai ide dan argumennya. Dalam menandaskan mutlaknya nilai keadilan ditegakkan oleh para penguasa, ia menyebut sebagai contoh pemimpin yang adil itu tidak hanya Nabi SAW dan para khalifah bijaksana seperti Umar bin al-Khattab. Tapi juga Anusyirwan, seorang raja Persia dari Dinasti Sasan.
Selain Al-Gazali, boleh dikatakan kebanyakan para ahli fikir Islam dalam segala bidang adalah dari bangsa Persia. Bahkan cukup menarik meskipun Persia atau Iran sekarang menganut paham Syiah namun hina dari para penulis kumpulan hadis Sunni, yiatu al-Kutub al-sittah, berasal dari latar belakang budaya Persia.
Selanjutnya akan dilihat bagaimana fungsi budaya lokal dalam Islam? Adanya kemungkinan akulturasi timbale balik antara Islam dan budaya lokal, diakui dalam suatu kaedah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushul fiqih, bahwa “adat itu dihukumkan” , yaitu “Adat adalah syariah yang dihukumkan. Artinya adat kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya adalah sumber hukum dalam Islam.
Berkenaan dengan itu, tidak perlu lagi ditegaskan bahwa unsure-unsur budaya lokal yang dapat atau harus dijadikan sumber hukum ialah yang sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip Islam dengan sendirinya harus dihilangkan. Inilah arti kehadiran Islam disuatu negeri. Karena setiap negeri atau wilayah pari mempunyai zaman jahiliyahnya sendiri sebagaimana yang dialami oleh bangsa Arab pada masanya.
Praktek-praktek jahiliyah sebelum Islam datang, seperti tahayul, mitologi feodalisme, ketidakpedulian terhadap nasib orang tertindas, pengingkaran hak asasi manusia, menentang persamaan umat, semuanya harus ditinggalkan dan diganti dengan ajaran tauhid paham Ketuhanan Yang Maha Esa; dan prinsip persamaan antara umat manusia (egalitarianism).
Jadi kedatangan Islam ke suatu wilayah atau negeri selalu mengakibatkan adanya perombakan masyarakat atau “pengalihan bentuk” transformasi sosial menuju yang lebih baik. Tapi pada saat yang sama, kedatangan Islam tidak harus “memotong” suatu masyarakat dari masa lampaunya, melainkan juga dapat ikut melestarikan apa saja yang baik dan benar dari masa lampau itu dan dapat dipertahankan dalam praktek ajaran universal Islam. Inilah yang dialami dan disaksikan oleh tokoh Sunan Kalijaga, salah seorang dari anggota Wali songo tentang masyarakat Jawa, ketika ia melihat feodalisme Majapahit dengan cepat sekali runtuh dan digantikan oleh egalitarisme Islam yang menyerbu dari kota-kota pantai utara jawa yang menjadi pusat-pusat perdagangan nusantara dan internasional. Kemudian Sunan Kalijaga memutuskan untuk ikut mendorong percepatan proses islamisasi transformasi itu, justru dengan menggunakan unsur-unsur budaya lokal guna menunjang efektivitas dari aspek teknis dan operasional dakwahnya. Salah satu yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media transformasi Islam ialah pewayangan (setelah dirombak, baik bentuk fisik wayang itu maupun cerita atau lakonnya) juga gamelan, yang dalam gabungannya dengan unsur-unsur upacara Islam populer dengan unsur-unsur upacara Islam populer menghasilkan tradisi sekaten di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta, dan Solo.
Sebagai wujud interaksi timbal balik antara Islam dan budaya lokal (dalam hal ini Jawa) banyak sekali adat Jawa yang kini tinggal kerangkanya, sedangkan isinya telah banyak diislamkan. Contoh yang paling menonjol dan masih bersifat polemik dikalangan sebagian umat Islam ialah upacara peringatan untuk orang-orang yang meninggal (setelah, 3, 7, 40, 100 dan 1000 hari) dan disebut “Selamatan” (acara memohon salamah- satu akar dengan kata Islam dan salam yakni kedamaian atau kesejahteraan). Upacara itu juga kemudian disebut “tahlilan” (dari kata tahlil) yakni membaca lafal Laa ilaaha Illa-llah secara bersama-sama, sebagai suatu cara yang efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam suasana keharuan.
Dalam ilmu Ushul Fiqh, budaya lokal dalam bentuk adat kebiasaan itu disebut ‘Urf (secara etimologis berasal dari akar kata yang sama dengan al-ma’ruf. Karena ‘Urf suatu masyarakat, mengandung unsur yang salah dan benar sekaligus, maka dengan sendirinya orang-orang muslim harus melihatnya dengan kritis, dan tidak dibenarkan sikap yang membenarkan semata, sesuai dengan prinsip Islam sendiri yang amat menentang tradisionalme. Berkenaan dengan hal ini, patut kita renungkan peringatan Allah SWT dalam kitab suci Al-Qur’an tentang argument yang sering diajukan orang-orang yang menutup diri (kafir) terhadap kebenaran, yang artinya:
Demikianlah kami (Allah) tidak pernah mengutus sebelum engkau (Muhammad) seorang pun pemberi peringatan (Rasul) dalam suatu negeri, melainkan kaum yang hidup berlebihan (kaya raya) di negeri itu tentu akan berkata “Sesungguhnya kami telah mendapatkan leluhur kami berjalan di atas suatu tradisi, dan kami tentulah mengikuti jejak mereka. Dia (Rasul) itu berkata, “Apakah sekalipun aku datang kepadamu dengan yang lebih benar daripada yang kamu dapatkan leluhurmu berada diatasnya?” mereka menjawab, “Sesungguhnya kami menolak apa yang menjadi tugasmu itu”. (Q.S. al-Zukhruf/43:23 – 24)

Jadi Al-Qur’an telah menegaskan apa yang di atas telah dijelaskan, bahwa Islam menentang tradisionalisme, yaitu sikap yang secara apriori memandang bahwa tradisi leluhur selalu baik dan harus dipertahankan serta diikuti. Prinsip ini dikatakan dalam suatu kerangka ajaran dasar yang mengharuskan kita selalu bersikap kritis. Sikap kritis ini sumber hukumnya adalah sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an.
Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang kami tidak mengerti. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani itu semuanya akan diminta bertanggung jawab atas hal itu.

Sikap kritis terhadap tradisi inilah yang menjadi unsur terjadinya transformasi sosial suatu masyarakat yang mengalami perkenalan dengan Islam. Dalam hal ini dapat dicontohkan dalam tradisi masyarakat Banjar yang diulas dalam buku “Islam dan Masyarakat Banjar” yang ditulis oleh Alfani. Menurut buku tersebut, pada proses masuknya Islam di Banjar “Kebudayaan Banjar telah memberikan bingkai dan Islam telah terintegrasikan ke dalamnya, dalam aspek upacara-upacara tradisional. Menurutnya banyak tradisi-tradisi masyarakat sebagai suatu praktik yang berfungsi merekatkan solidaritas kelompok diantara komunitas orang Banjar yang disebut bubuhan, teristimewa kalangan bangsawan, atau bubuhan raja-raja. Setelah Islam masuk ke wilayah Banjar, secara perlahan-lahan unsur-unsur Islam masuk ke dalam upacara tersebut atau bahkan mengikisnya sampai habis.
Pembauran Islam dengan budaya lokal tersebut mungkin dapat dilihat sebagai pencemaran atas kemurnian Islam. Tetapi perlu diketahui bahwa sebenarnya hal yang sama telah terjadi pula dimana-mana, sehingga kalau dipersoalkan hal seperti itu penulis khawatir bahwa jumlah umat Islam di dunia ini akan amat sedikit dibandingkan dengan angka yang selama ini diketahui.
Sebagai seorang ilmuwan, penulis mencoba member apresiasi terhadap keberagaman masyarakat, dan tidak serta merta menuduh mereka keluar dari Islam. Apa yang digambarkan oleh Al-Fani dalam upacara-upacara mandi-mandi pada masyarakat Banjar telah membuktikan kenyataan adanya proses islamisasi pada budaya lokal setempat. Seperti adanya banyu Yasin, dan banyu Burdah (air yang dibacakan atasnya surat Yasin denga syair Burdah), serta doa dalam upacara mandi-mandi, adalah bukti nyata masuknya unsur-unsur Islam dalam upacara tersebut.
Bagi orang Banjar meminta “Banyu Pil ungsur” (air yang dibacakan doa tertentu agar dapat melancarkan persalinan) untuk wanita yang akan melahirkan atau meminta “banyu tawar” (air yang dibacakan doa) kepada ulama demi kesembuhan dari suatu penyakit, bukan berarti mereka menolak dokter. Bagi mereka sebab kemudahan melahirkan atau kesembuhan dari penyakit hanya Allah SWT yang tahu, dan minta “banyu” adalah salah satu usaha ikhtiar dari menemukan sebab tersebut. Pandangan ini tentu sejalan dengan pandangan Asy’ariyah tentang hukum kausalitas sebagai kebiasaan bukan kepastian.
Kontras dengan pandangan Alfani Daud, Noordiansyah, seorang doktor perbandingan agama dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, telah memberikan penilaian yang sangat kritis terhadap praktik dan kepercayaan keagamaan tertentu di masyarakat. Noordiansyah menyerang apa yang disebutnya dengan “Sinkritisme”. Terma ini menurutnya, berarti suatu usaha mendamaikan atau mengharmoniskan berbagai doktrin atau praktik yang berbeda atau bertentangan. Konsep sinkritisme ini berguna untuk memahami gejala-gejala dalam masyarakat, dimana orang cenderung terlibat dalam suatu kegiatan, perbuatan, pemikiran yang didalamnya terdapat dua prinsip atau cara yang berlawanan yang menyangkut ajaran agama yang dianutnya.
Ada dua macam sinkritisme yang menurut penemuan penelitian Noordiansyah, yaitu Pertama sinkritisme dalam bidang tasawuf. Menurutnya, tasawuf yang benar adalah ajaran Islam yang menekankan etika; sedangkan tasawuf di masyarakat yang dianggapnya sinkritis adalah berupa pemujaan terhadap orang yang dianggap suci, baik sudah meninggal dunia ataupun belum (masih hidup). Kecenderungan masyarakat untuk mencari bacaan-bacaan atau wirid tertentu agar murah rezeki, dapat jodoh atau agar anak yang nakal menjadi baik, adalah imbas dari tasawuf yang sinkritis yang akhirnya memunculkan tokoh ulama atau Kyai yang “dikeramatkan” atau bahkan di “walikan”. Sinkritisme kedua, adalah sinkritisme dalam tradisi, yakni upacara pada Islam yang dapat digolongan atas tiga sinkritisme tradisi, yaitu:
(1) Pengakuan secara tidak nyata kepada adanya beberapa otoritas yang menentukan suasana kehidupan kini dan yang akan datang.
(2) Pengakuan itu mendasari cara kerja yang tidak memerlukan landasan hukum sebab akibat yang lazim dalam dunia empiris.
(3) Legitimasi cara kerja dan perbuatan yang sebenarnya bertentangan dengan Islam dengan pembacaan Al-Qur’an (missal: Yasin dsb) shalawat atas Nabi, dengan doa selamat untuk menimbulkan kesan bahwa cara-cara atau perbuatan itu telah dapat dibenarkan menurut agama yang dianut yaitu Islam.
Baik sinkritisme tasawuf maupun sinkritisme tradisi, keduanya harus ditolak, karena menurut Noordiansyah sinkritisme cenderung kepada tindakan yang irrasional, yaitu berusaha mencapai tujuan-tujuan yang bersifat material melalui tindakan ritual. Hal ini tentu saja tidak akan membawa kepada kemajuan, karena cenderung mengabaikan hukum kausalitas yang bersifat reaktif atas kesulitan yang tengah dihadapi, ketimbang upaya kreatif untuk menuju masa depan yang lebih baik. Selain itu sinkritisme seringkali berdasarkan pada rasa nostalgia kepada kultur masa silam, yang meskipun wajar, adalah suatu pandangan ke belakang yang juga tidak menuju kemajuan.
Akar dari tumbuh suburnya sinkritisme, menurut penulis cukup kompleks. Salah satu penyebabnya adalah pengajaran ilmu tauhid (baca: sifat dua puluh) dengan pendekatan logika yang sulit dipahami oleh masyarakat. Demikian pula pengajaran ilmu tasawuf yang cenderung kepada nalar spekulatif ketimbang pada penghayatan. Etis. Keadaan ini kemudian diperparah oleh taraf pendidikan masyarakat yang rendah dan kondisi ekonomi yang buruk.
Terlepas dari adanya kritik dan perlawanan dari para ulama dan akomodasi, upacara-upacara tradisional dan kepercayaan yang melatarbelakangi masih tetap hidup dimasyarakat hingga kini. Namun menurut Talal Asad seorang Antropologi terkemuka, sebuah tradisi sebenarnya tidak pernah ada yang terlepas dari masa lalunya, masa kini, dan masa yang akan datang. Tradisi selalu hidup dalam ruang dan waktu para pelakunya. Karena itu untuk menilai mengapa sebuah tradisi tetap eksis, maka orang harus melihat bagaimana relasi-relasi kuasa (power relatims) di masyarakat berperan dalam mempertahankan dan mengembangkan sebuah tradisi. Dengan kata lain, bahwa sebagian dari tradisi itu masih tetap eksis, dan sebagian lagi telah ditinggalkan; menunjukkan bahwa otoritas yang mendukung dan yang menolak masih sama-sama mempengaruhi hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu menurut penulis, bukan sinkritismenya yang menjadi faktor utama, tetapi adalah bagaimana kita melihat bahwa Islam itu adalah agama moderat yang bersifat universalisme (Al-‘Alamiyah) yang agung Islam sebagian agama yang besar memiliki karakteristik Rabbaniyah; insaniyyah (humanistic); sejumul (totalitas) yang mencakup unsur keabadian, universalisme dan menyentuh semua aspek kehidupan manusia (ruh, akal, hati dan badan), wa’athiyah (moderat dan seimbang); waqi’iyyah (realitas). Jelas dan gambaran integrasi antara al-Tsyabat wal-milrunah (permanen dan elastis).
Universalisme Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untku semua umat, segenap ras, dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dialah bangsa yang terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya.
Risalah Islam adalah hidayah Allah untuk segenap manusia dan rahmat-Nya untuk semua hamba-Nya. Manifesto ini termaktub dalam firmannya “dan tidak kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam” “Katakanlah (Muhammad) agar ia menjadi juru peringatan bagi seru sekalian alam”.
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagi manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya yang mencakup aspek aqidah, syariah dan ahlaq (yang seringkali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup), menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari enam tujuan umum, yaitu syariah, menjamin kesalamatan agama, badan, akal, keturunan, harga dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan yang luhur, yang dapat dikatakan sebagai tujuan dasar syariah, yaitu: keadilan, ukhuwah, takaful, kebebasan dan kehormatan.
Benar kata Hudgson, tradisi tidak ubahnya sebuah resep kue yang dapat dihidangkan dalam berbagai bentuk makanan. Dalam kondisi apapun dan kapanpun tradisi benar-benar terus hidup, barangkali juru masak akan menemukan suatu cara bahwa resep itu sendiri dapat diperbaiki dalam kondisi yang berubah-ubah. Simbol-simbol yang diambil dari kreatifitas lokal kerap digunakan menjadi kemasan agar tradii tetap kelihatan menarik.
Universalisme simbolik yang diangkat dari tradisi tentu mengandung nilai agama (religion) dan kehidupan sosial yang sarat dengan Wisdom (kearifan). Inovasi tradisi yang kental dengan adat seperti adat kebudayaan, slametan, kondangan atau berkatan: pada awalnya justru hasil olahan budaya lokal yang pada proses inovasi selanjutnya diramu dengan tradisi zikir, sehingga dikalangan komunitas di Indonesia lebih populer dengan sebutan tahlilan.
Dihampir semua ritual dan upacara adat dalam sistem religi di Indonesia, khususnya di Jawa, slametan merupakan unsur pokok. Dikalangan santri atau masyarakat jelas berkepentingan untuk mengolahnya lebih lanjut karena ada unsur kedekatan dengan spirit ajaran shadaqah atau sedekah yang dianjutkan agama disamping sebagai media sosialisasi nilai-nilai ukhuwah (persaudaraan). Maka dalam konteks ukhuwah, maksud mengadakan slametan hanyalah memelihara rasa solidaritas (mempererat tali pertemanan, persaudaraan, kekurangan, dan ketetanggaan) untuk menciptakan suasana damai bebas dari rasa permusuhan dan prasangka terhadap orang lain.
Ditinjau dari aspek ketahanan sosial (social insurance), budaya slametan sebagai konsep ta’awun atau tolong-menolong ini merupakan strategi yang paling tepat untuk menangkal kerawanan sosial, khususnya dilingkungan ketetanggaan, untuk menciptakan suasana damai, bebas dari rasa permusuhan dan prasangka terhadap orang lain.
Adapun unsur-unsur zikir atau pembacaan kalimat thayyibah yang menyertai pelaksanaan slametan, dimaksudkan agar ritual adat yang diadakan menjadi barokah sebagai amal ibadah yang mendapatkan ridho-Nya dengan suatu pengharapan supaya hajat baik yang telah diniatkan dapat dikabulkan oleh Allah SWT. Sebab nabi bersabda “ash-shodaqotu tadfa’ul bala’, bahwa bersedekah itu dapat mencegah terjadinya ancaman mara bahaya atau gejolak sosial.
Impelementasi pilihan strategis gerakan akulturasi budaya yang sering dilakukan dikalangan pesantren tradisional melalui eksplorasi budaya lokal sebagaimana telah dicontohkan pada kasus sholawatan dan slametan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan melakukan revitalisasi dan reinvensi tradisi merupakan upaya kreatif dan cerdas, yakni dengan mengangkat sistem nilai yang ada dalam ajaran Islam terhadap penggalangan sistem simbol. Pada arus simbolik inilah sebenarnya telah terbentuk idenditas lokal yang khas melalui proses transformasi sosial keagamaan. Untuk sosial ini, maka di dalam suatu masyarakat perlu suatu integrasi yang harmonis. Integrasi sosial harmonis itu mencakup pengalaman-pengalaman individu yang merasa memiliki terhadap kelompok sosial berdasarkan atas tukar-menukar norma, nilai-nilai keyakinan bahkan kepentingan-kepentingan. Pada tataran ini, dialog antar budaya lokal maupun tradisi yang berkembang dimasyarakat saling berproses dan mempengaruhi. Di dalam masyarakat, khususnya di kalangan santri, integrasi sosial merupakan wujud narasi keselarasan yang dapat dibangun melalui inprovisasi teks atau penjabaran lebih konkret dalam bentuk berkesenian (penciptaan tradisi lokal). Dari sifat kebakuan menjadi elastis. Sebagai contoh syiar dakwah tentang nilai-nilai agama tidak saja didengungkan lewat khotbah di atas mimbar-mimbar mesjid, tetapi juga bisa lewat sarana yang lain seperti berkesenian. Kesenian wayang kulit atau kontrung , yang merupakan bentuk kreativitas lokal sebagai media dakwah yang bersifat edukatif sekaligus berfungsi rekreatif. Sehingga tanpa harus dikesankan “sakral”, orang-orang dari berbagai latar belakang budaya dapat menikmati secara bebas dan mengambil hikmah dengan penuh kesadaran.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam yang datang ke Indonesia mudah diterima sebagai agama dan peradaban, disebabkan: Pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi. Tradisi yang bertentangan dengan Islam tidak ditolak, tetapi diapresiasi, kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan lama, sehingga dapat hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah usang sehingga Islam diterima sebagai agama. Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak dapat meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka. Kelima, Islam datang membawa ajaran kebebasan, persamaan dan universalisme, menghargai demokrasi dan hak asasi manusia.
Islamisasi mula-mula berlangsung dimasyarakat pesisir (pantai) nusantara; disebabkan para mubhalig atau tokoh-tokoh ulama penyiar Islam, umumnya terdiri dari pedagang, sehingga kontak pertama mereka adalah dengan masyarakat pesisir, kemudian baru kepedalaman.
Faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia sebelum datangnya Islam memeluk agama Hindu-Budha, kemudian setelah Islam datang mereka beralih kepada agama Islam; disebabkan faktor bahwa Islam tidak membedakan atau menggolong-golongkan masyarakat, sehingga masyarakat beralih kepada agama Islam yang mengajarkan prinsip persamaan, dan kebebasan.
Proses Islamisasi di nusantara (Indonesia) dilakukan melalui media kesenian, perdagangan, perkawinan, dan pendidikan (tasawuf) pondok pesantren. Dan mengenai bentuk-bentuk akulturasi timbal-balik antara budaya lokal dengan Islam, antara lain: slametan, kondangan, mauludan, tahlilan, upacara sekatenan, upacara mandi-mandi di dalam masyarakat Banjar (air yang dibacakan surat Yasin), dan sebagainya.
B. Implikasi
Dalam mengkaji dan menelaah akulturasi budaya lokal dan Islam sebagai arus timbal balik, maka seharusnya kita berpedoman kepada para ulama yang berkata: Al-Adah syariah muhakkamah ( adat adalah syariah yang dihukumkan ). Dan adat kebiasaan (‘Urf ) itu dalam syara harus dipertimbangkan. “Al-ma’ruf; urfan ka al-masyruthsyarthan, wa al-tsabit bi al urf ka al-tsabit bi al-nashsh (yang baik menurut adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi, dan yang mantap benar dalam adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan yang mantap benar dalam nash).
Semua uraian di atas harus mengantarkan kita kepada suatu etos memelihara yang lama, yang baik dan mengambil yang baruyang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qurtubi, Sumanto. Arus Cina, Islam, Jawa. (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003), h.112-113.

Asad, Talal. The of an Anthropology of Islam. (Washington: CCAS. Goergetown University, 1986). H.61.

Al-Gazali. Siraj-al-Thalibin. Syarah kitab Al-Gazali, Minhaj-al-Abidin) 2 Jilid (Surabaya, tt).

Budiman, Amin. Wali Songo: Antara Legenda dan Fakta Sejarah. (2 Jilid) (Semarang: 1982).

Daud, Alfani. Islamisasi Upacara Mandi-Mandi di Kalangan Masyarakat Banjar. Religiku Vol. I No. 1 (Juni 2000), h. 69-92.

G.S. Hudgson, Marshall. The Future of Islam (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 112-113.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 344-350.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991).

Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin Peradaban. (Cet.VI. Jakarta: Paramadina-Dian Rakyat, 2008), h. 545.

Mun’im, DZ. Abdul. Mengukuhkan Jangkar Islam Nusantara. Tasywirah Afkar, No.26 (2008): h.2.

Noordiansyah. Sinkritisme (Banjarmasin: Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari, 1982), h.3.

Q.,S. al-Zukhruf (43): 23-24.

Q.,S. al-Isra (Bani Israil) 17:36.

Noorsyam. Islam Pesisir (Cet. I Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2005), h. 269.

R.Roff, William. Islam Obscurred? Some Reflections on Studies of Islam on Society in South east Asia, Archipel. Vol. 29 (1985), h. 1-34.

Salim, Ifran. Islam dan Akulturasi Budaya Lokal. Isnet Hompage. 26 Nopember 2009.

Susetiawan. Konflik Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 217.

Syahristani, al-Milal-Wa-al-Nihal. (Beirut: Darl-al-Fikr, tt), h.10.

Wahid Hasyim, Mustofa. Hari-hari Bercahaya (Yogyakarta: Gita Nagari, 2003), h.109.

Wood Ward, Mark.R.ed. Jalan Baru Islam (Jakarta: Mizan, 1998), h.91-95.



Read More......

Flu Babi Dalam Pandangan Islam

Flu Babi Dalam Pandangan Islam
Semua hal datangnya dari Allah. Siapapun yang ddak meyakini akan hal ini, dia bukanlah seorang muslim. Semua orang yang memiliki mata dapat melihat dengan jelas, bahwa penyakit baru ini muncul karena kutukan dari Allah untuk Amerika. Mujahidin dan mereka yang mendukung perjuangannya tetvs-menerus meminta kepada Allah untuk menghancurkan Amerika. Allah menjawabnya. Kini, mereka (Amerika) telah dihancurkan secara militer, secara ekonomi, dan kini dihancurkan dengan penyakit baru yang penyebarannya sangat cepat. Semoga Allah melindungi para Muslim yang berada di negeri-negeri Barat dari virus tersebut dan semoga virus tersebut mampu menghaneurkan seluruh musuh Allah sehingga pemerintah Amerika tidak lagi mampu melakukan pergerakan melawan ummat Islam!
Kepala Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat tengah bersiap-siap jika flu babi menjadi pandemik di negaranya. Sekretaris Janet Napolitano mengatakan kepada media, bahwa WHO sedang beroperasi pada level tiga, dengan level enam dinyatakan sebagai pandemik. Dia mengatakan para pejabat WHO melakukan pertemuan untuk meyakinkan kenaikan tingkat.

Napolitano melanjutkan AS sedang dalam proses mempersiapkan diri jika negaranya menjadi pandemik flu babi. Virus ini muncul di Meksiko lalu menyebar ke Amerika Serikat dan sekitarnya dengan 40 kasus yang telah dilaporkan di AS. Masyarakat dunia perlu menyadari haramnya mengkonsumsi babi dalam Islam. Islam adalah satu-satunya jalan yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.
Sebagai tambahan, Amerika perlu menyadari bahwa pemerintahannya sedang berperang melawan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam "perang melawan teror" yang mereka operasikan.
Dan siapa saja yang menentang Allah, maka Allah akan memberikan yang setimpal di dunia dan akhirat. Menurut berita yang kami dapatkan dari AZ Jaaeera, virus flu babi ini pun telah menjangkiti Israel. Kami memohon kepada Allah untuk terus menghukum Amerika, serta sekutu kentalnya, Israel.
Di awal April 2009, dunia kembali dibuat resah dengan menyebamya flu babi (Virus Influenza tipe AIH 1 N 1) yang sampai saat ini, diperhitungkan telah memakan korban lebih dari 170 orang meninggal dunia Walaupun kasus flu babi yang dilaporkan berawal dari Meksiko ini belum memakan korban sebanyak kasus dengan virus serupa pada tahun 1918 di Spanyol (Kasus Spanish Influenza.) yang merenggut nyawa sekitar 40-50 juta orang di seantereo dunia, namun efek domino sudah mulai dirasakan. Hal ini utamanya terkait dengan berkurangnya lalu lintas perdaganagan antar negara.-negara dunia disebabkan adanya kekhawatiran menyebarnya pandemik flu babi sehingga menyebabkan terganggunya sektor ekonomi.
Flu babi merupakan penyakit pernafasan yang sering diidap oleh babi. Biasanya virus flu babi ini tidak mudah menular pada manusia apalagi sampai menyebabkan kematian. Babi yang mengidap flu ini persentase kematiannya hanya sekitar 1-4% saja (berdasarkan data WHO).
Gejala flu babi pada manusia umumnya serupa dengan gejala infeksi virus influenza yang biasa menyerang manusia yakni demam lebih dari 37,8 derajad celcius, sakit tenggorokan batuk, pilek, sakit kepala dan nyeri.
Presentasi klinis tipikal infeksi flu babi pada manusia yang serupa dengan influenza biasa dan infeksi saluran pernafasan atas yang lain itu membuat sebagian besar kasusnya tidak terdeteksi dari surveilans influenza sehingga kejadian penyakit ini pada manusia secara global belum diketahui.
Flu babi yang saat ini menyerang masyarakat meksiko berbeda dengan flu biasa yang diderita manusia dan babi. Flu ini terdiri dari genetik babi, burung dan manusia, dimana jenis baru ini bisa menular antar manusia.
Infeksi influenza. babi pada manusia beberapa kali pernah dilaporkan terjadi. Manusia biasanya tertular flu babi dari babi dan, meski sangat sedikit, dari orang yang terinfeksi karena berhubungan dengan babi atau lingkungan peternakan babiKasus penularan flu babi dari manusia ke manusia sendiri terjadi dalam beberapa kasus namun masih terbatas pada kontak dekat dan sekelompok orang saja.
Flu babi ini pun berefek hingga ke sektor perdagangan. Seperti yang dikatakan oleh Bendahara Ga.bungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut, Laksamana Adiyaksa, di Medan,"Munculnya flu babi diperkirakan bisa menekan permintaan minyak hewani di pasar dan beralih ke minyak nabati khususnya minyak sawit (CPO) dan itu bisa mendongkrak harga CPO lagi,"
Pemerintah Indonesia pun juga memutuskan menghentikan impor daging babi untuk sementara. Selain itu, juga akan dilakukan pemeriksaan terhadap 9 juta babi yang ada di Indonesia. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang mendampingi Aburizal saat rapat koordinasi lintas sektor kewaspadaan terhadap penyebaran wabah flu babi di Ruang Rapat Menko Kesra, Jakarta, menjelaskan, virus flu babi tidak bisa hidup dalam suhu panas sehingga diharapkan tidak masuk ke Indonesia. Virus babi yang saat ini menjangkit adalah gabungan antara virus babi Asia dan virus tabi Eropa, flu burung, dan flu influensa dari manusia yang bermutasi.
Di luar permasalahan tersebut bahwa terda.pat perkiraan para ahli influenza secara histori yang menyatakan, pandemi influenza terjadi setiap 11 sampai 42 tahun. Sebagai kaum muslimin yang diserahi amanah untuk memberikan rahmat kepada alam semesta dengan membawa Syariat
Islam, kita juga perlu melakukan penelaahan terhadap kasus-kasus pandemi yang ada di dunia. Tidak hanya dalam masalah kedokteran dengan mengupayakan adanya obat yang dapat menyembuhkan penyaklit akibat virus tersebut sebagai kewajiban kifayah kaum muslim, tidak hanya dalam masalah ekonomi dan keuangan untuk memberikan anggaran guna pencegahan dan pengobatan, namun juga secara politik membongkar apa sebenarnya yang terjadi terkait pandemi-pandemi yang beredar di dunia.
Dalam sebuah buku berjudul "Deadly Mist", Upaya Amerika Merusak Kesehatan Manusia" Jerry D. Gray, seorang mualaf warga negara. AS keturunan Jerman yang pernah bergabung di dinas Angkatan Udara AS dan kini menetap di Indonesia secara gamblang memaparkan peran AS dalam pembvatan zat-zat biologi dan kimia yang berbahaya bagi manusia, seperti MSG, Aspartam (gula buatan), fluoride, dan zat-zat mematikan lainnya. Penggunan senjata biologi bahkan sudah dilakukan dalam penaklukan benua Amerika untuk "memusnahkan" orang-orang Indian, penduduk ash benua tersebut.
Dalam buku tersebut Gray juga memaparkan kospirasi jahat dibalik penyebaran virus AIDS, Antrax, sampai flu burung dan membeberkan bahwa bibit-bibit penyakit itu telah dengan sengaja dikontaminasikan pada manusia sebagai uji coba bahkan untuk kepentigan industry obat-obatan mereka untuk meraup keuntungan. Yang lebih kejam lagi, AS juga tega menjadikan rakyatnya sendiri sebagai target uji coba bahan kimia dan biologi berbahaya buatan mereka.
Dalam kasus flu babi, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan. Pertama, kasus ini muncul di meksiko hanya selang satu minggu setelah Presiden Barack Obama mengunjungi Meksiko yang itu berarti pula datangnya ribuan anggota secret service. Kedua, kasus pertama flu babi terjadi di kota Perote Veracruz di negara. Meksiko di sebuah peternakan babi yang luas milik perusahaan Amerika. Ketiga, efek pengalihan perhatian dunia dari kasus krisis keuangan global yang berawai dari Amerika sebagai lokomotif keuangan. Keempat, efek pasar vaksin yang dapat diciptakan dari kepanikan penduduk dunia dan pertanyaan tentang siapa yang memiliki kemampuan untuk prduksi vaksin.
Lalu, adakah flu babi yang sedang mewabah ini merupakan bagian dari konspirasi jahat itu? Wallahu alam bi showab. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita dari segala bentuk kejahatan dan penyakit, serta senantiasa memberikan petunjuk pada kita yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.

Solusi Islam
Sebagai sebuah sistem yang paripurna, Islam memiliki solusi atas berbagai problematika yang melingkupi dunia. Dalam kasus flu Babi, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh Islam :
Pertama, Islam memiliki aturan yang rinci mengenai perbuatan termasuk makanan dan minuman manusia. Untuk perbuatan manusia, belaku kaidah syara' "Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Syara'. Sehingga tidak satu pun perbuatan manusia yang tidak ada hukumnya dalam pandangan Islam. Terkait makanan, berlaku kaedah syara' : Hukum asal atas benda adalah ibadah (boleh) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya", Daging Babi diharamkan oleh Allah dalam firmannya :
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk; dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihrryd dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.
-QS. A1 Maidah [S]: 3¬
Pengharaman makanan sifatnya pasti dan tidak mengandung illat (sebab diturunkannya sebuah hukum) sehingga tidak perlu dicari apa alasan pengharamannya. Sedangkan fakta ditemukannya realitas bahwa babi merupakan hewan yang menjadi tempat mutasi virus, gennya berbahaya bagi tubuh manusia, tempat hidup cacing pita, tidak dapat dijadikan alasan pengharamannya namun hanya menjadi hilanah yang dapat terjangkau oleh akal manusia atas pengharaman babi. Alasan mendasar babi haram adalah karena Alah telah menetapkannya sebagai barang haram.
Kedua, Islam melarang warga negaranya untuk memperdagangkan barang-barang yang diharamkan oleh aturan Islam kepada publik dengan sifat terbuka. Barang yang haram hanya mungkin beredar di wilayah privat warga negara non-muslim yang syariat agamanya memperbolehkan penggunaan barang tersebut. Negara menetapkan pembatsan-pembatasan terhadap penjualan barng haram dan secara ketat mengawasi peredarannya.
Ketiga, Islam melarang negara yang menerapkan Islam secara Kaffah (Daulah Islam) bergantung pada negara kuffur dalam permasalahan pokok warga negaranya. Masalah pokok tersebut dalam Islam terbagi menjadi 6 Bagian, yaitu : Sandang, Papan, Pangan, Pendidikan, Kesehatan, dan Keamanan. Oleh sebab itu, Syariat Islam memberikan aturan bahwa terdapat kewajiban kifayah bagi masyarakat Islam untuk menguasai bidang-bidang penting bagi masyarakat. Dalam rangka kemandirian kesehatan, maka negara wajib membangun fasilitas-fasilitas kesehatan secara independen yang tidak berada dibawah hegemoni organisasi lain, baik itu nasional maupun internasional seperti contohnya : WHO.
Keempat, mendapatkan fasilitas kesehatan adalah hak masing-msing warga negara sehingga negara wajib mengadakannya secara cuma-cuma. Ini berarti, penanganan terhadap berbagai macam penyakit yang diderita masyarakat sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Kelima, Daulah Islam secara terorganisir meng4imkan orang-orang terbaiknya untuk mendapatkan informasi dari negara-negara lainnya (operasi intelejen). Upaya negara lain untuk mempergunakan senjata biologis (bioweapon) terhadap negara dapat diartikan tantangan perang terhadap negara dan wajib dijawab dengan jihad.
Beberapa solusi diatas hanya dapat terwujud saat kaum muslimin memahami Islam tidak terbatas ritual saja, namun merupakan pandangan hidup yang melahirkan solusi. Hal ini semua dapat dilakukan bila kaum muslimin menerapkan Islam secara kaffah di dalam segala lini kehidupan. Tanpa itu semua, kaum muslimin hanyalah bangsa-bangsa yang tidak berdaya.



Read More......

Pertumbuhan Hukum Islam di Indonesia

1. Masa Kedatangan Islam di Indonesia
Berbicara tentang pertumbuhan hukum Islam di Indonesia, kita tidak dapat melepaskan diri dari persoalan kapan dan bagaimana masuknya agama Islam di Indonesia. Hal ini penting untuk dikemukakan agar kita dapat memperoleh gambaran betapa bangsa kita menyambut agama ini sampai menjadi salah satu agama yang terbesar penganutnya.
Persoalan kapan dan bagaimana masuknya agama Islam di Indonesia ini terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama, yang dipelopori oleh golongan Orientalis, berpendapat, bahwa agama Islam masuk di Indonesia pada permulaan abad ke XIII Masehi yang dibawa oleh orang-rang Persia ke Gujarat India, kemudian pedagang-pedagang Gujarat India ini membawanya ke tanah air kita. Salah seorang diantara mereka adalah Sir Thomas Arnold dalam bukunya The preaching of Islam, mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia. Sebagai bukti di kemukakan, bahwa bentuk, bahan dan tulisan yang terdapat pada makam raja-raja Hindustan. Lagi pula menurut beliau Islam yang dianut di Indonesia lebih mirip dengan Islam di Gujarat daripada Islam di tanah Arab sendiri.

Pendapat kedua, dipelopori oleh cendekiawan Islam Indonesia, antara lain Buya Hamka, (t.t IV : 22), berpendapat, bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dibawa langsung dari negeri Arab oleh bangsa Arab sendiri pada abad ke VII M.
Kedua pendapat tersebut di atas masing-masing mengemukakan alasan-alasan yang kuat sehingga yang mana diantara keduanya yang benar terserah pada penilaian kita masing-masing. Setelah kita ketahui kapan dan bagaimana caranya agama Islam masuk dan berkembang di Indonesia, sekarang akan dibicarakan bagaimana proses pengislaman selanjutnya setelah agama Islam masuk ke Indonesia.
Sejarah telah membuktikan, bahwa mulanya proses pengislaman di Indonesia berlangsung tanpa disadari, tiba-tiba mengalami perkembangan yang pesat dan cepat walaupun harus diakui bahwa pada waktu itu memang sudah ada isme-isme yang menguasai alam pikiran bangsa Indonesia, misalnya isme tradisional dan agama Hindu.
Perkembangan yang sangat pesat dan dinamis ini, ditunjang oleh beberapa faktor yang menentukan, antara lain:
a. Adanya sifat demokratis agama Islam itu sendiri, dimana tidak mengenal perbedaan antara rakyat biasa dan kaum bangsawan, tegasnya tidak mengenal perbedaan antara rakyat biasa dan kaum bangsawan, tegasnya tidak mengenal kelas-kelas dan kasta-kasta dalam masyarakat..
b. Prosedur untuk menjadi pemeluk agama Islam tidak berbelit-belit atau tidak begitu sulit.
c. Agama islam gampang menyesuaikan diri/berasimilasi dengan keadaan-keadaan setempat.
d. Pribadi dan akhlak orang-orang islam sangat tinggi, sehingga dengan gampang saja mengadakan hubungan antara satu dengan lainnya, yang menyebabkan terjadinya satu ikatan yang timbale balik yang sangat menguntungkan terutama sekai di lapangan perdagangan.
Dalam bidang perdagangan, Islam berkembang melalui beberapa macam cara antara lain dengan mengadakan kontak secara pribadi dengan raja-raja yang berkuasa termasuk keluarga raja-raja disertai dengan pemberian hadiah-hadiah istimewa sehingga para raja itu tertarik kepada agama Islam. Masuknya para raja itu sbeagai pemeluk agama Islam merupakan eksponen utama didalam menarik rakyatnya menjadi pemeluk agama Islam. Selanjutnya rakyat biasa yang telah menganut agama islam mengadakan pula hubungan dengan daerah-daerah lainnya yang biasanya sekaligus bertindak sebagai juru dakwa sehingga agama Islam menyebar sampai ke pelosok pedesaan.
Penyebaran agama Islam pada mulanya hanya melalui dua tempat, yaitu Sumater Utara (Aceh) dan pesisir pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur (rembang, Tuban dan Gresik). Dari sumater Utara, Islam menyebar ke pdelaman Minangkabau (Sumatera barat) sedang di Sumater Selatan agama islam berkembang melaui Banten.
Di pulau Jawa, agama Islam berkembang dan menyebar melalui kelompok orang-orang penyebar agama Islam yaitu para wali, diantaranya yang terkenal dengan sebutan Wali Songo (wali Sembilan). Dengan perantara mereka inilah Islam berkembang di Demak, Pajang, Mataram dan anten, akhirnya sampai merata di seluruh pulau Jawa.
Dari pulau Sumatera dan Jawa, agama Islam berkembang keseluruh pelosok tanah air pada abad-abad berikutnya. Di Sulawesi Selatan sendiri agama Islam mulai berkembang pada abad ke XVI M yang dibawa oleh pedagang-pedagang dan penyebar-penyebar Islam yang diperkirakan berasal dari Pahang, Campa, Minangkabau dan Johor (J. Noordaya, 1972:11).
2. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda
Pada waktu pemerintahan Hindia Belanda mulai berkuasa di tanah air kita, hukum Islam telah berkembang sedemikian pesatnya. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, disitu pengaruh Islam (termasuk hukumnya) sangat menonjol, bahkan menurut sejarah jauh sebelum Belanda menginjakkan kakinya di Indonesia, hukum Islam pernah dinyatakan berlaku sebagai hukum positif dibeberapa kerajaan Islam di Indonesia.
Di samping hukum Islam, hukum adat sebagai suatu system hukum juga berlaku di tengah-tengah masyarakat sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang berdasarkan alam pikiran bangsa Indonesia. Antara kedua system hukum itu dalam perkembangannya saling pengaruh mempengaruhi, seolah-olah diantara keduanya terjadi sinkronisasi. Mungkin berdasarkan kenyataan inilah, sehingga timbul anggapan dari pemerintah Hindia Belanda yang memandang hukum asli dari bangsa Indonesia adalah terdiri dari hukum agama.
Anggapan seperti ini mempengaruhi pula pemerintah Inggris yang pernah juga berkuasa lebih kurang 5 tahun (1811 – 1816) di bawah pimpinan Thomas Stafford Raffles, yang berpendapat bahwa hukum adat yang berlaku bagi bangsa Indonesia berasal dari hukum agama, sehingga dalam proses peradilan, jaksa dan penghulu keduanya bertugas member advis menurut hukum adat yang disangkanya identik dengan hukum agama.
Setelah Belanda kembali menjajah Indonesia ( sesudah penjajahan Inggris), maka berdasarkan anggapan tersebut lahirlah teori Receptio in Complexu oleh Mr. L.W.C. Van Den Berg, penasehat hukum Islam pemerintah Hindia Belanda yang pada dasarnya berbunyi :
Resepsi hukum Hindu oleh kaum Hindu, hukum Nasrani oleh kaum Nasrani dan Hukum Islam oleh kaum Islam. Selama bukan sebaliknya dapat dibutikan, menurut ajaran ini hukum pribumi mengikuti hukum agamanya oleh karena adalah konsekuensi baginya, bahwa memeluk suatu agama harus pula mentaati hukum-hukumnya dengan setia. (Tentang teori ini lihat juga pembahasannya waktu membicarakan tentang bidang-bidang /lapangan-lapangan hukum Islam).
Sebagai reaksi dari teori ini keluar pula teori Receptie, dari C. Snouck Hurgronje yang beranggapan, bahwa berlakunya hukum Islam sekedar setelah diresepsi oleh hukum adat. Jelas sekali, bahwa teori receptive ini bertujuan membatasi berlakunya hukum Islam serta menghalangi perkembangnya di Indonesia.
3. Masa Sesudah Kemerdekaan
Sesudah proklamasi kemerdekaan, perkembangan hukum Islam lebih maju lagi disbanding dengan keadaannya pada tahun-tahun sebelum kemerdekaan.
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan : Negara Republik menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya itu.
Sebagai salah satu wujud pelaksanaan dari kemerdekaan beragama sebagaimana tercantum pada pasal 29 ayat (2) tersebut, maka pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuklah Departemen Agama yang bertugas mengurus perbagai bidang yang menyangkut masalah-masalah keagamaan (termasuk hukum agama) di Indonesia.



Read More......

Selasa, 01 Juni 2010

FILSAFAT

FILSAFAT YUNANI

MASA SEBELUM SOKRATES
Dalam sejarah filsafat biasanya filsafat Yunani dimajukan sebagai pangkal filsafat barat. Ini memang ada alasannya, karena dunia barat (Eropa barat) dalam alam fikirannya berpangkal kepada pikiran Yunani. Di tanah Yunani, atau setidak-tidaknya di daerah yang dimasukkan ke wilayah Yunani, adalah sudah lama sebelum permulaan tahun masehi ahli-ahli pikir yang mencoba menerka teka-teki alam.

Filsuf alam
Oleh karena filsuf-filsuf itu berusaha mencari inti alam, dalam sejarah mereka disebut filsuf alam dan filsafatnya dinamai filsafat alam. Sepanjang pengetahuan kita ahli pikir yang berusaha mencari intisari alam melalui pikiran belaka itu yang tertua adalah terdapat pada kota Miletos, pada abad keenam sebelum masehi. Nama-nama yang terkenal ialah :
THALES (624-548) berpendapat bahwa dasar pertama atau intisari alam ialah air.
ANAXIMANDROS mengatakan bahwa dasar pertama itu ialah zat yang tak tertentu sifat-sifatnya, yang dinamainya toaperion.
Adapun ANAXIMENES (590-528) mengatakan, bahwa intisari alam atau dasarnya pertama ialah udara. Karena udaralah yang meliputi seluruh alam serta udara pulalah yang menjadi dasar hidup bagi manusia yang amat diperlukan oleh nafasnya.
PITAGORAS (532) lain pula pendapatnya. Menurut dia dasar segala sesuatunya ialah bilangan, sehingga orang yang tahu dan mengerti betul akan bilangan, tahu jugalah ia akan segala sesuatunya.

Filsafat menjadi
HERAKLEITOS (535-475) mengalami bahwa di dunia ini segala sesuatunya berubah. Tak adalah sesuatu yang tetap, dikatakannya semuanya dalam keadaan menjadi. Untuk dasar atau arche dunia semesta diterimanya api, karena sifat api itu selalu bergerak dan berubah dan tidak tetap. Malahan ditarik kesimpulan lebih lanjut, bahwa yang menjadi sebab atau keterangan yang sedalam-dalamnya itu ialah gerak, perubahan atau menjadi itu. Semuanya lewat dan tak ada yang tetap. Pendapat ini dirumuskan dengan istilahnya sendiri: panta rhei artinya: ‘semua mengalir’. Satu-satunya realitas ialah perubahan, tak terdapat yang tetap, realitasnya ialah berubah atau menjadi itu. Sebab itu filsafat HERAKLEITOS disebut orang juga ‘filsafat menjadi’.


Filsafat ada
Sebagai kebalikan filsafat HERAKLEITOS ialah filsafat PARMENIDES (540-475). Ia dilahirkan di Elea, maka itu penganut-penganutnya disebut kaum Elea. Parmenides mengakui adanya pengetahuan yang bersifat tidak tetap dan berubah-ubah itu, serta pengetahuan mengenai yang tetap: pengetahuan indra dan pengetahuan budi. Tetap menurut dia pengetahuan indra itu tak dapat dipercayai, karena berapa kalikah ternyata bahwa orang tidak mencapai kebenaran sebab mengikuti indranya?. Ia mengatakan: pengetahuan itu adalah dua macam, ialah pengetahuan sebenarnya dan pengetahuan semu.

Kaum Elea
ZENO dari MELISSOS mempertahankan benar kesatuan ada ini dan mengingkari benar gerak. Zeno misalnya mencoba membuktikan bahwa gerak itu sebenarnya tak ada dan tak mungkin. Jika sekiranya terdapat gerak, tak mungkinlah ACHILLES (seorang jago lari dalam dongeng Yunani) akan mengejar kura-kura, jika kura-kura itu sudah berangkat lebih dulu. Sebab jika ACHILLES harus bergerak, maka selalulah ia hanya dapat mengurangi setengah dari jarak yang sudah ditempuh kura-kura itu. Tiap-tiap kali dikurangi setengah, selalu ada sisanya, jadi ACHILLES tak pernah dapat menyusul kura-kura.
EMPEDOKLES (490-435). Dalam bukunya tentang alam dikatakan oleh EMPEDOKLES bahwa sebenarnya tak ada menjadi dan hilang. Jadi ia mengikuti PARMENIDES. Adapun perbedaan dalam seluruh keadaan itu tak lainlah daripada campuran dan pergabungan unsur-unsur (rizomata): air, udara, api dan tanah.
ANAXAGORAS (499-428). Filsuf ini mengikuti EMPEDOKLES tentang teorinya dalam pergabungan dan perpisahan. Unsur bukanlah keempat unsur EMPEKDOKLES itu, melainkan amat banyak biji (Spermata) yang berjenis-jenis sifatnya.
DEMOKRITOS (460-370). Teori bagian-bagian kecil seperti pendapat ANAXAGORAS diajarkan juga, tetapi bagian itu sebutannya menurut DEMOKRITOS ialah atomos. Arti kata ini sebenarnya: tak dapat dibagi. Atomos ini menurut DEMOKRITOS tidak dapat dibeda-bedakan karena sifatnya, hanya karena bilangannya.


MASA SOKRATES
Perkembangan filsafat di Yunani amat pesat jalannya daripada kebijaksanaan ini menjadi kata sehari-hari. Banyak orang yang mengikuti pelajaran dan pidato ahli pikir atau pencipta kebijaksanaan itu.

Sofisme
Berhubungan dengan minat orang terhadap filsafat timbullah sifat baru. Timbul orang-orang yang menamai dirinya kebijaksanaan, mereka tidak berusaha mencari kebijaksanaan. Oleh karena itu mereka tak mungkin keliru lagi.
Ada juga diantara kaum sofis yang berfilsafat serta mengutarakan pendapatnya, misalnya GORGIAS (480-380). Menurut dia tak terdapat sesuatu yang ada. Jika sekiranya terdapat yang ada itu, kita toh tak dapat tahu akan ada itu. Jika sekiranya tahu juga, kita toh tak mungkin memberitahukan.

Masa antropologis
Oleh karena hingga zaman SOKRATES ini minat ahli pikir terarahkan terutama kepada alam, ada yang menamai masa itumasa alamatau masa kosmologis. Dengan timbulnya sofisme pikiran filsuf-filsuf terarahkan juga kepada manusia dengan kemampuannya berpikir, juga kepada tingkah-lakunya. Disana-sini orang mencoba mencari dimana letaknya kebaikan dan keburukan, jadi mencari norma tingkah laku. Tidak diakui ada norma yang umum bagi semua orang: jika subyek merasa baik, itulah yang baik, sedangkan yang dianggapnya jelek, itulah yang jelek. Norma adalah subyektif. Pada masa ini mulai masa antropologis.

Sokrates
Ahli pikir yang amat besar pengaruhnya dalam dunia filsafat ini ialah SOKRATES. Ia dilahirkan di Atena (469), bapaknya seorang juru pahat dan ibunya seorang bidan. Kata orang SOKRATES amat jelek parasnya. Isterinya bernama XANTIPPE amat judes perangainya. SOKRATES amat cerdas pikirannya dan berpendidikan tinggi. Seorang peramah yang memberikan ajarannya kepada pemuda-pemuda dikotanya dan caranya ialah dengan tanya jawab (dialoge). Ajaran SOKRATES pun lain pula dan dianggap oleh para ‘bijaksana’ itu berbahaya, maka diadukanlah SOKRATES dimuka hakim atas tuduhan: ia merusak jiwa pemuda dan mengajarkan kepercayaan baru. SOKRATES dijatuhi hukuman mati serta minum racun pada tahun 399.

Ajarannya
Ajarannya SOKRATES dipusatkan kepada manusia. Ia mencari pengertian yang murni dan sebenarnya: pengertian sejati. Adapun caranya ialah dengan mengamat-amati yang kongkrit dan bermacam-macam coraknya dan setelah kemudian dihilangi yang berbeda dan muncul yang sama, maka timbullah pengertian yang sejati itu.

Pembentukan pengetahuan atau pengertian sejati itu amat penting dan perlu, untuk mencapai kebajikan. Orang yang tahu benar-benar, demikian SOKRATES, tentulah berkebajikan pula.
Jadi filsafat itu dipusatkan oleh SOKRATES pada manusia. Dan terutama pada tingkah-lakunya: filsafat tidak lain dari usaha melalui pengertian (sejati) untuk mencapai kebajikan.


MASA SESUDAH SOKRATES

PLATO

PLATO meninggalkan banyak tulisan, baik yang merupakan filsafat maupun yang harus dimasukkan kepada golongan kesusasteraan. Bahasanya amat baik dan penuh isi pikiran yang luhur. Tidak selalu amat mudah diikuti.
Ia dilahirkan pada tahun 427 dari keluarga bangsawan, kemudian mengikuti ajaran SOKRATES dengan taat. Sepeninggalan gurunya banyak buku yang ditulisnya. Terutama ialah : Pembelaan SOKRATES, Georgias, Meno, Syimposion, Politica, Siphistes, hukum.
PLATO mencoba mencari penyelesaian dalam soal lama, yaitu tentang pertanyaan: hanya terdapat yang berubah-ubahkah (HERAKLEITOS) atau yang tetapkah (PARMENIDES). Manakah yang benar, pengetahuan indra ataukah pengetahuan budi?
Mengingat dua pengetahuan yang bermacam-macam itu, boleh dikatakan bahwa manusia itu masuk dalam dunia dua, yaitu dunia pengalaman dan dunia yang tetap yang disebutnya dunia idea. Yang ada di dunia idea itu ialah idea, sifatnya: satu dalam macamnya, tetap dari itu tidak berubah-ubah. Idea-idea itu merupakan suatu yang sungguh-sungguh ada: realitas.
Menurut PLATO dunia pengalaman ini merupakan bayang-bayang dari dunia idea itu.

ARISTOTELES

ARISTOTELES dilahirkan di Stagira pada tahun 384, untuk menyelesaikan pendidikannya pergilah ia ke Atena dan tinggal disitu selama 20 tahun sebagai murid PLATO. Karya ARISTOTELES amat banyak dan terwariskan kepada kita. Ia bukan saja ahli filsafat, akan tetapi ahli semua ilmu yang terkenal pada waktu itu.
Biji ajaran ARISTOTELES tentang logika berdasarkan atas ajaran tentang jalan pikiran (ratiocinium) dan bukti. Jalan pikiran itu baginya berupa syllogismus, yaitu putusan dua yang tersusun demikian rupa sehingga melahirkan putusan yang ketiga. Untuk mempergunakan syllogismus dengan seksama. Harus diketahui benar-benar sifat putusan. Tiap-tiap putusan itu terdiri dari pengertian.
Ajaran ARISTOTELES tentang fisika dan metafisika umum (ontologia) tidak selalu dapat dibeda-bedakan atau dipisah-pisahkan. Yang penting bagi kita ialah metafisiknya.
Menurut ARISTOTELES yang sungguh-sungguh ada itu bukanlah yang umum, melainkan yang khusus, satu persatu. Bukanlah manusia pada umumnya yang ada melainkan manusia ini atau manusia itu. Bagi ARISTOTELES pengetahuan itupun ada dua macam, ialah pengetahuan indra dan pengetahuan budi. Kedua-duanya adalah pengetahuan yang sesungguhnya, kedua-duanya mungkin benar, mungkin sesuai dengan obyeknya.

HELENISME

EPIKURISME

Nama Epikurisme berasal dari tokoh aliran yaitu EPIKUROS (341-270). Filsafat EPIKUROS hanya diarahkan pada satu tujuan, yaitu: memberi kebahagiaan kepada manusia. Jadi yang diutamakan etika, adapun yang menjadi dasar etika ini logika dan fisiknya.
Ajarannya tentang logika dan fisiknya adalah sebagai berikut : sumber pengetahuan – menurut EPIKUROS – ialah pengalaman: pengalaman berkali-kali dapat mengakibatkan pengertian. Pengertian ini dapat membawa orang pada pengetahuan tentang dasar-dasar yang sedalam-dalamnya dan tersembunyi.


S T O A

Yang menjadi tokoh Stoa bernama ZENO (336-264). Ia memberikan ajarannya dalam gang antara tiang-tiang (stoa poikile), itulah sebabnya maka aliran ini disebut Stoa. Bagi Stoa pun pengetahuan ini berdasarkan pengalaman ini, tetapi tidaklah terdapat yang umum itu. Yang sungguh-sungguh ada ialah yang tercapai oleh indra itu saja.
Menurut Stoa tak adalah dunia lain daripada dunia pengalaman yang jasmani ini, hanya dunia itu sajalah yang sungguh-sungguh ada. Dalam pada itu ada dua unsur: yang pasif, yaitu bahan sebenarnya dan yang aktif, yaitu budi yang dapat meresap pada segala-galanya. Tetapi budi itu jasmani, berbahan, semacam fluidum yang menjiwai segala badan dan bahan.



NEOPLATONISME

Yang dianggap menjadi pelopor dari neoplatonisme seorang yang hidup sesudah permulaan abad Masehi, jadi kenal benar akan aliran-aliran agama yang ketika itu sudah berkembang, yaitu Katolik.
Filsafat PLOTINOS – demikian nama tokoh neoplatonisme – mendasarkan pendapatnya pada filsafat PLATO terutama dalam ajarannya tentang idea tertinggi baik atau kebaikan. Itulah sebabnya maka filsafat PLOTINOS merupakan platonisme. Adapun baru-nya akan ternyata dalam uraian di bawah ini :
PLOTINOS menuju pengalaman batin dan persatuan dengan Tuhan. Dunia ini bukanlah tujuan pikiran seperti yang dulu-dulu, melainkan hanya alat untuk mencapai persatuan tersebut, tapi sebaliknya juga merupakan bahaya.


FILSAFAT INDIA

I. VEDISME

Isi Veda itu semuanya bersangkutan dengan upacara agama, terutama korban. Dalam agama mereka korban itu amat penting. Ada korban bagi perseorangan, ada yang bagi umum, seluruh masyarakat. Kalau diantarkan korban umum ini, ada pengorban resmi dan sudah dari dahulu kala ada golongan pengorban resmi itu, karena jabatan pengorban resmi ini turun-temurun. Korban resmi demikian itu biasanya besar-besaran dan persediaannya pun tidak sedikit pula. Mulai dari persediaan itu orang harus memperhatikan aturan-aturan upacara tertentu: setelah tempat untuk berkorban itu disediakan, maka disediakan korban atau persembahan yang bermacam-macam jenisnya: padi, beras, puhan, mentega dan lain-lain, biasanya hasil bumi atau ternaknya.
Berhubung dengan upacara-upara pengorbanan ini, Veda itu digolong-golongkan menjadi empat golongan:
1. Rig veda inilah yang tertua dari semua veda, berisi pujian.
2. Sama-veda berisi nyanyian-nyanyian yang dinyanyikan oleh utgatar, waktu orang menyediakan minuman untuk korban yang amat penting itu.
3. Yuyur-veda: berisi mantra-mantra dalam bentuk prosa, biasa dipergunakan dalam pengorbanan yang sebenarnya.
4. Atharva-veda: berisi uraian dan doa-doa yang harus dikenal para brahmana.
Dalam pada itu orang sadar benar akan adanya aturan dalam alam ini. Segala alam ini terkait benar oleh hukum yang tertentu, ada dan terjadinya mengikuti aturan. Tidak dalam alam saja, bahkan dalam masyarakat pun hukum dan aturan ini tidak dapat diabaikan: ada hubungan tertentu antara anak dan orang tuanya, suami dan isterinya, pembesar dan bawahannya dan seterusnya. Adapun hukum dan aturan ini disebut Rita. Rita ini bukanlah dewa di samping dewa yang lain. Ia meliputi segala-segalanya, baik dewa maupun dunia seisinya. Terkait oleh rita itu. Rita ini tak berkehendak dan tak berbudi: itu aturan dan hukum yang tidak dapat dan tidak boleh diabaikan atau dilanggar.

II. BRAHMANISME

Ahli-ahli pikir yang merenungkan manusia, alam serta dengan dewa-dewi itu menjumpai hal-hal yang tidak memuaskan baginya. Misalnya dalam korban: orang yang berkorban kepada dewa-dewa itu boleh dikata dapat memaksa dewa itu supaya mengabulkan permohonannya. Siapakah yang kuasa, manusia yang berkorban ataukah dewa? Dapat diambil kesimpulan, bahwa manusia yang berkorbanlah yang lebih kuasa. Kalau ditinjau lebih lanjut lagi, maka bukan manusianya yang kuasa, melainkan korbannya, sebab tanpa korban itu manusiapun tak dapat berbuat apa-apa. Jadi yang terkuasa dalam segala hal sebenarnya korbanlah, yang disebut dalam bahasa Sansekerta: brahma.

III. BUDISME

Walaupun di tanah kita, lebih-lebih dalam percakapan sehari-hari, ajaran BUDA itu disebut agama, yang kami bentangkan disini bukanlah agamanya, melainkan sifat filsafatnya. Memang dalam Budisme terutama kemudian banyaklah gejala-gejala yang mengharuskan kita menyebut aliran itu agama, akan tetapi pada permulaannya Budisme ini menurut hemat kami merupakan usaha yang mencari kebebasan dari ikatan dunia ini. Dasar filsafatnya pun tidak lain daripada unsur yang terdapat pada Samkhya.
Pusat aliran ini didasarkan atas keyakinan bahwa segala sesuatunya yang ada di dunia ini terliputi oleh sengsara. Adapun sengsara itu mempunyai satu sebab, yaitu cinta (dalam arti sebenarnya dan seluas-luasnya, dari ‘ingin’ sampai ‘berusaha mencapai’) yang disebut trisna. Trisna in akibat kekeliruan atau ketidaktahuan (avidya). Sebab itu, jika kita hendak bebas, haruslah kita membelakang ketidaktahuan itu serta menghadap pengetahuan. Jalan ke arah kebebasan selalu melalui pengetahuan, melalui kebenaran.


FILSAFAT EROPA

I. ABAD PERMULAAN

Oleh karena agama itu meliputi keseluruhan manusia dan dapat dipahami pula bahwa bagi orang yang beragama, agama itu sesuatu yang amat utama, dapat juga dipahami, bahwa dalam kalangan orang di Eropa yang menganut agama baru ini dalam alam pikiran mereka ada unsur baru pula. Adapun unsur ini ialah unsur firman Tuhan atau wahyu. Dalam filsafat Yunani orang memang sengaja hendak mencari kebijaksanaan melalui budi belaka, serta bagi orang-orang katolik itu, orang Yunani teranglah tidak berfilsafat menurut atau berdasarkan wahyu, karena mereka tak kenal akan wahyu sejati, sebab ketika itu wahyu injil memang belum diturunkan. Walaupun demikian haruslah diakui, bahwa filsafat Yunani memang menghasilkan suatu pandangan hidup atau pandangan dunia.


PATRISTIK

Di Eropa kalangan yang berfilsafat dengan memperhatikan atau mempersoalkan unsur baru berhubung dengan kepercayaan mereka. Memang mereka mengatakan renungannya itu terutama dihubungkan dengan agamanya dan bagi mereka agamalah yang paling utama. Akan tetapi juga tidak boleh disangkal bahwa mereka berfilsafat juga dalam arti kata yang dulu kami rumuskan. Kebanyakan di antara mereka memegang pimpinan di masyarakat. Katolik (gereja) dan menurut istilah mereka pemimpin-pemimpin itu disebut bapa, (bapa: Latin – Pater). Aliran dalam abad permulaan di Eropa ini disebut dalam sejarah: ‘patristik”
Seorang yang ketika itu berpengaruh besar dalam alam pikiran patristic ialah TERTULIANUS (160 – 222). Ia dilahirkan di Kartago dan kemudian memeluk agama Kristen di Roma.
Menurut dia filsafat (Yunani) telah diganti oleh wahyu. Kebenaran dan kebijaksanaan itu hanya terdapat dalam Kitab Suci. Sebaliknya TERTULIANUS toh tidak mengingkari daya budi sama sekali. Budi dapat juga mencapai kebenaran. Menurut dia budi misalnya dapat mengetahui adanya Tuhan serta jiwa yang tak kenal mati.
Ajaran Agustinus (354-430) lebih memperlihatkan sistem yang merupakan keseluruhan. Dalam logikanya AGUSTINUS memerangi skepsis. Skepsis itu, menurut pendapatnya mengandung pertentangan, mengandung kemustahilan. Skepsis menganjurkan serba keragu-raguan tentang segala-galanya.
Apakah manusia itu? Pertanyaan ini dijawab oleh AGUSTINUS demikian: menurut badannya manusia itu termasuk alam jasmani, tetapi karena jiwanya ia termasuk rohani. Oleh karena ia jasmani, terikatlah ia, harus mengalami perubahan, sengsara dan terlibat dalam waktu. Sebaliknya oleh karena ia temrasuk alam rohani, maka dengan budinya ia mencari kebenaran yang baka’ dan dengan kehendaknya mencari kebaikan yang sempurna.

II. ABAD PERTENGAHAN
SCHOLASTIK

Kerusuhan dan kesulitan politik pada bagian dunia yang sekarang kami sebut Eropa selatan dan Afrika utara melenyapkan kerajaa-kerajaan yang ada di situ dengan kebudayaan-kebudayaannya sekali. Ketenteraman politik lama tidak stabil. Ketika Karel Agung berkuasa di Eropa, kembalilah ketenteraman yang agak lama. Agama Katolik sudah tersebar di bagian besar tanah Eropa serta telah terdapat pula dalam masyarakat Katolik itu organisasi yang teratur, baik dalam menyebarkan benih agamanya maupun dalam memperdalam pengetahuan agamanya.
Ada yang mengatakan bahwa scholastic itu filsafat yang berdasarkan atas agama atau kepercayaan. Pendapat yang demikian itu sebetulnya sudah mengingkari sifat filsafat scholastic, jika pembatasan kami yang kami majukan dalam pendahuluan buku ini diterima.

III. ABAD PERALIHAN
Renaissance
Karena datangnya sarjana-sarjana Yunani di Eropa, timbullah diEropa minat orang terhadap kebudayaan. Yunani pada khususnya dan kebudayaan kuno pada umumnya. Orang mau mengembalikan kebudayaan kuno itu di dunia, itulah yang dianggapnya kebudayaan yang sempurna. Masa ini terkenal dalam sejarah sebagai lahirnya kembali zaman kuno atau renaissance. Dalam pada itu filsafat pun tak ketinggalan. Orang tidak lagi memusatkan pikirannya kepada Tuhan dan surge, melainkan kepada dunia saja dan dalam dunia itu yang merupakan pusat utama ialah manusia.


IV. ABAD MODERN

RASIONALISME

Orang yang amat besar pengaruhnya dalam abad-abad sesudah hidapnya ialah seorang Perancis bernama DESCARTES (CARTESIUS) dilahirkan pada tahun 1596. Ia menerima didikan scholastic, tetapi tak puaslah ia akan ajarannya dan metodosnya.
DESCARTES merasa benar-benar ketegangan dan ketidakpastian yang merajalela ketika itu dalam kalangan filsafat. Scholastic tak dapat memberi keteranganyang memuaskan kepada ilmu dan filsafat baru yang dimajukan ketika itu kerapkali bertentangan satu sama lain. Filsafat menjadi kacau, demikian pendapat DESCARTES. Adapun tidak adanya kepastian itu karena menurut dia tak ada pangkal yang sama, tak ada metodos. Maka dari itu baiklah rasanya, jika ia mencari metodos yang sama sekali baru untuk mencapai kepastian itu.

EMPIRISME
Sementara itu ilmu terus maju, hasil penyelidikannya dapat menolong umat manusia, kemajuan dianggap orang tak berhingga. Anggapan orang terhadap filsafat amat berkurang, sebab dianggap sesuatu yang tak berguna, pasti dan benar itu diperoleh orang melalui indranya. Empirislah yang memegang peranan amat penting bagi pengetahuan, malahan barangkali satu-satunya dasar pendapat di atas itu disebut empirisme.
Lebih terang bahwa sungguh-sungguh menganut empirisme ialah JOHN LOCKE (1632-1704). Anak seorang ahli hukum. Walaupun sebenarnya suka akan teologi dan filsafat, akan tetapi karena keadaan ketika itu menyulitkannnya, ia belajar untuk dokter serta penyelidikan kimia.
LOCKE hendak menyelidiki kemampuan pengetahuan manusia, sampai kemanakah ia dapat mencapai kebenaran dan bagaimanakah mencapainya itu.

KRITICISME
Pada rasionalisme dan empirisme ternyata lagi amat jelas pertentangan antara budi dan pengalaman, manakah yang sebenarnya sumber pengetahuan, manakah pengetahuan yang benar?.
Seorang pada zaman modern yang amat masyhur serta cerdas budinya mencoba mengadakan penyelesaian antara pertikaian ini, yaitu filsuf Jerman IMMANUEL KANT (1724-1804). Pada mulanya KANT mengikuti rasionalisme, kemudian menurut katanya sendiri ia terjagakan oleh HUME (empirisme) dari impiannya, rasionalisme. Tetapi sebaliknya empirisme tidaklah diterimanya begitu saja, karena diketahuinya bahwa empirisme membawa keragu-raguan terhadap budi. KANT mengakui kebenaran ilmu, ia mengakui bahwa budi dapat mencapai kebenaran.
V. ABAD KONTEMPORER

IDEALISME
J.G. FICHTE (1762-1814). Filsafatnya sering disebut orang filsafat identitas yang berdasarkan idealisme, (KANT) dan monism. Aku yang otonom dan merdeka itu, demikianlah FICHTE, menempatkan diri (thesis) menjadi sadar dan dalam pada itu aku itu menempatkan obyek di hadapannya ialah bukan-aku. Ini disebutnya anti-thesis. Bukan-aku ini adanya tergantung kepada aku, karena merupakan pertentangan belaka. Adapun fungsinya tidaklah lain daripada merupakan pertentangan belaka. Adapun fungsinya tidaklah lain daripada merupakan rintangan yang harus diatasi (oleh aku), batas yang harus dilewati dan saat yang harus dipergunakan aku untuk selalu berkembang.

TRADISIONALISME
Perkembangan filsafat di Prancis agak berlainan. Di sana orang mengalami revolusi yang amat hebat. Apa-apa yang dahulu dianggap suci dan baik ditumbangkan dan timbullah pengingkaran atas wahyu dan agama. Ada beberapa orang yang mengatakan sebagai reaksi, bahwa kegoncangan dalam kesusilaan dan kepercayaan ini karena orang mendewa-dewakan budi atau rasio.

POSITIVISME
Sementara itu timbullah di Prancis juga aliran yang disebut orang positivism, yang ditokohi oleh A. COMTE (1798-1857). Menurut dia supaya ada masyarakat baru yang teratur, haruslah lebih dahulu diperbaiki jiwa atau budi. Adapun budi itu menurut COMTE mengalami tiga tingkatan, dan tingkatanitu terdapat juga pada hidup tiap-tiap manusia, pun pada sejarah ilmu semua.
Tingkat pertama ialah tingkat teologi yang menerangkan segala-galanya dengan pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat; tingkat kedua adalah tingkat metafisika yang hendak menerangkan segala sesuatunya melalui abstraksi; tingkatan yang ketiga ialah tingkatan positif yang hanya menghiraukan yang sungguh-sungguh serta sebab-akibat yang sudah tertentukan.

EVOLUSIONISME
Seorang yang dalam ilmu amat banyak pengaruhnya hingga sekarang ialah ahli biologi DARWIN (1809-1882). Ia memajukan dan mempertahankan teori perkembangan untuk segala sesuatu, pun manusia. Dengan demikian manusia itu sekarang ini hanya hasil yang tertinggi dari perkembangan tersebut serta teratur oleh hukum-hukum mekanik.
Sebenarnya evolusi DARWIN ini dari sudut filsafat tidak amat banyak bedanya dari positivism tentang pendapatnya mengenai pengetahuan. Hanya yang dialami sajalah yang sungguh-sungguh. Lainnya itu bukanlah kesungguhan atau sekurang-kurangnya manusia tidaklah tahu akan hal-hal yang mengatasi pengalaman.

FILSAFAT CHINA
Filsafat Cina.
Tema pokok dari filsafat dan kebudayaan Cina itu “perikemanusiaan”. Pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Filsafat Cina juga lebih pragmatis; selalu diajarkan bagaimana manusia harus bertindak supaya keseimbangan antara dunia dan surga tercapai.

Jaman Klasik
Jaman seratus sekolah filsafat, dengan – sebagai sekolah-sekolah terpenting – konfusianisme. Taoisme, Yin-Yang, Moisme. Dialektik dan Legalisme.

1) Konfusianisme
Konfusius (bentuk Latin dari nama “Kong-Fu-Tse”, guru dari suku Kung”) hidup antara 551 dan 497 SM. Ia mengajar bahwa Tao (“jalan” sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah “jalan manusia”. Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulya, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan . kebaikan hidup dapat dicapai melalui peri kemanusaiaan. Perikemanusiaan, “yen”, merupakan suatu model yang berlaku untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda.

2) Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar tahun 550 SM. Lao Tse melawan konfusius. Menurut Lao Tse bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam” lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan obyektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran konfusius lebih-lebih etika.

Jaman Neo-Taoisme dan Buddhisme
Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina konsep Tao mendapat arti baru. Tao sekarang dibandingkan dengan “Nirwana” dari ajaran Buddha, yaitu “transendensi di seberang segala nama dan konsep”, dia seberang adanya”.

Jaman Neo Konfusianisme
Dari tahun 1000 M Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting. Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sama sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dialami sebagai sesuatu yang sama sekali asing.

Jaman Modern
Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Filsafat memperlihatkan dalam periode in tiga tendensi. Pada permulaan abad kedua puluh pengaruh filsafat. Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan dalam bahasa Cina. Aliran filsafat Barat yang paling populer di Cina adalah Pragmatisme, suatu jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Setelah pengaruh Barat ini mulailah suatu reaksi, yaitu kecenderungan untuk kembali ke tradisi-tradisi pribumi. Akhirnya, terutama sejak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung.
Ada tiga tema yang sepanjang sejarah dipentingkan dalamfilsafat Cina: harmoni, toleransi dan perikemanusaiaan. Harmoni antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia surga. Selalu dicari keseimbangan, suatu jalan tengah dari emas antara dua ekstrem. Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan suatu pluriformitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Perikemanusiaan, karena selalu manusialah yang merupakan pusat filsafat cina, manusia yang pada hakekatnya baik dan yang harus mencari kebahagiaannya di dunia ini dengan memperkembangkan dirinya sendiri dalam interaksi dengan alam dan dengan sesama.

Renesanse
Jembatan antara abad pertengahan dan jaman modern, periode antara sekitar 1400 dan1600, disebut “Renesanse” (jaman “kelahiran kembali”) dalam jaman renesanse kebudayaan klasik dihidupkan kembali. Kesusasteraan, seni dan filsafat mencari inspirasi mereka dalam warisan Yunani-Romawi. Filsuf-filsuf terpenting dari renesanse itu. N. Macchiavelli (1469-1527), Th. Hobbes (1588-1679). Th. More (1478-1535) dan Fr. Bacon (1561-1626).
Pembaharuan terpenting yang kelihatan dalam filsafat renesanse itu “antroposentrisme”nya. Pusat perhatian pemikiran itu tidak lagi kosmos, seperti dalam jaman kuno, atau Tuhan, seperti dalam Abad pertengahan, melainkan manusia. Mulai sekarang manusialah yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan.

Read More......

KAJIAN KRITIS TENTANG AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara yang muslimnya mayoritas di dunia, namun paling sedikit mendapat pengaruh arabisasi, dibandingkan dengan negara-negara muslim besar lainnya. Itulah sebabnya, dua ciri paling utama dalam kesenian Islam yakni arabesk dan kaligrafi, paling sedikit mempengaruhi budaya Indonesia.
Selain itu, dalam proses Islamisasi di nusantara, penyebaran agama dan kebudayaan Islam tidak menghilangkan kebudayaan lokal dan tidak menggunakan kekuatan militer dalam upaya proses Islamisasi. Hal itu disebabkan karena proses Islamisasi dilakukan penetrasi secara damai melalui jalur perdagangan, kesenian, dan perkawinan dan pendidikan.
Hasil islamisasi dengan cara demikian menghasilkan praktik sinkritisme yang luas. Salah satu indikasinya adalah sistem penanggalan Jawa, yang mempertahankan asal usul Hindu kalender Shaka, tetapi mengubah sistem penanggalannya berdasarkan nama-nama penanggalan Islam.
Untuk mengetahui hal itu, pertama-tama kita harus memahami dalam konteks budaya Indonesia, dimana pernah mengalami apa yang dinamakan dualism kebudayaan, yaitu antara budaya keratin dan budaya populer di tingkat bawah (masyarakat). Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan dalam kebudayaan tradisional. Untuk kepentingan pembahasan ini, kita akan melihat bagaimana pengaruh Islam di kedua bentuk kebudayaan tradisional itu.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pembahasan pokok dalam makalah ini, adalah fokuskan pada aspek-aspek berikut ini:
1. Apa yang dimaksud dengan akulturasi ?
2. Benarkah ada unsur antara Islam dengan budaya lokal setempat ?
3. Meliputi apa saja bentuk akulturasi antara Islam dengan budaya lokal setempat ?
4. Mengapa Islam yang datang ke Indonesia sebagai pembawa tamaddun, dan peng Esaan Tuhan, tetap melibatkan budaya lokal dan bersifat akomodatif dalam proses islamisasi di nusantara.
C. Metode Pendekatan dan Analisis
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode fisiologis, teologis, historis dan sosiologis kultural. Metode ini di pakai untuk menelaah, mengkaji, menganalisis hubungan-hubungan konsul antara fakta-fakta sejarah mengenai kajian kritis terhadap proses akulturasi antara Islam dan budaya lokal.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Akulturasi
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia “akulturasi” adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi atau proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu.
Dari pengertian akulturasi ini, maka dalam konteks masuknya Islam ke Nusantara (Indonesia) dan dalam perkembangan selanjutnya telah terjadi interaksi budaya yang saling mempengaruhi. Namun dalam proses interaksi itu, pada dasar kebudayaan setempat yang tradisional masih tetap kuat, sehingga terdapat suatu bentuk perpaduan budaya asli (lokal) Indonesia dengan budaya Islam. Perpaduan inilah yang kemudian disebut akulturasi kebudayaan.
2. Latar Belakang Sejarah sebagai Bukti Adanya akulturasi Islam dan Budaya Lokal
Sebelum Islam datang ke Indonesia, di Nusantara (Indonesia) telah berdiri kerajaan-kerjaan yang bercorak Hinduisme dan Budhisme. Seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Akan tetapi setelah proses islamisasi dimulai sejak abad ke XIII, unsur agama Islam sangat memegang peranan penting dalam membangun jaringan komunikasi antara kerajaan-kerajaan pesisir dengan kerajaan-kerajaan pedalaman yang masih bercorak Hindu-Budha. Misalnya di daerah pesisir utara Jawa, kerajaan-kerajaan yang berdiri umumnya diperintah oleh pangeran-pangeran saudagar. Mereka takluk kepada raja Majapahit. Tetapi setelah raja-raja setempat memeluk agama Islam, maka mereka menggunakan Islam sebagai senjata politik dan ekonomi untuk membebaskan diri sepenuhnya dari kekuasaan Majapahit.
Setelah runtuhnya Majapahit 1520 M; di daerah pesisir proses Islamisasi berjalan sangat intensif hingga akhirnya berdirilah kerajaan-kerajaan Islam seperti, Demak, Banten dan Cirebon. Namun dalam segi pemahaman aqidah Islam, tidak serta merta mantap, dan melenyapkan alam pikiran filsafat lama, seperti Hindu dan Budha. Mereka memang mengucapkan kalimat Syahadat, akan tetapi kenang-kenangan dan praktik-praktik kepada kepercayaan kepada Bata Guru, Batara Wisnu, Dewata Sewwa’E , dan lain masih tetap hidup. Disinilah muncul kecenderungan sinkritisme. Dengan demikian, maka Islam yang berkembang di pedalaman Jawa berbeda dengan Islam yang berkembang di pesisir adalah Islam yang mobilitas sosialnya tinggi dan mengikuti perkembangan dunia Islam (orthodox).
Setelah kerajaan Majapahit runtuh, maka muncul penggantinya di daerah pedalaman, muncullah kerajaan Mataram Islam tahun 1575 M. Karena masa peralihan yang lama antara kerajaan Islam pedalaman dan Islam pesisir, menyebabkan mereka saling berebut pengaruh yang menyebabkan terjadinya peperangan. Sultan Agung (1613 – 1645 M) dari kerajaan Mataram berusaha merebut kekuasaan kerajaan pesisir, sehingga unsur agama memegang peranan kembali, yakni di mata kerajaan-kerajaan pesisir kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam yang sinkritisme. Di keraton kesultanan berkumpul segolongan pujangga yang mencampuradukkan antara Islam dengan Hindu, seperti terbukti pada Babad tanah jawi yang mengandung pencampuran Islam dengan Hinduisme. Dalam kisah babad tanah jawi di katakan bahwa, adapun raja-raja jawa berasal dari Nabi Adam yang mempunyai anak Sis, seterusnya mempunyai anak Nurcahya. Lalu Nurasa, kemudian Sang Hyang Wening, seterusnya sang Hyang Tunggal, dan akhirnya dijumpai Batara Guru yang gilirannya mempunyai Batara Wisnu sebagai salah seorang puteranya yang kemudian menjadi raja jawa dengan nama Pabru Set. Inilah sebuah contoh sinkritisme yang tidak disenangi oleh para alim ulama dan sultan-sultan pesisir. Sebagai bentuk kepeduliannya, maka para ulama di pesisir giat memasuki daerah pedalaman, melakukan gerakan dakwah di daerah kerajaan Mataram, menyerukan perlawanan rakyat terhadap Sultan Agung.
Dari kisah Babad Tahan Jawi itu, maka kita dapat melihat bahwa telah menyebabkan terjadinya pertentangan antara kerajaan Islam di pesisir dengan sikap ortodoksnya , dengan kerajaan Islam pedalaman yang sinkritisme. Disinilah awal munculnya pertentangan antara Islam Sinkritisme dan ortodoks dalam arti telah terjadi pergumulan antara mempertahankan kemurnian akidah dengan pencampuran akidah yang dilakukan oleh kerajaan Islam di pedalaman(Hindu Budha kedalam Islam) demi mempertahankan pemburuan hegemoni kekuasaannya. Oleh karena itu, dalam menyikapi akulturasi budaya analisis dari perspektif sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Karena dalam proses Islamisasi di Indonesia tidak berjalan satu arah, tetapi banyak arah atau melalui berbagai macam pintu. Pintu-pintu itu, misalnya melalui kesenian, pewayangan, perkawinan, pendidikan, perdagangan, aliran kebatinan, mistisisme dan tasawuf. Ini semua menyebabkan terjadinya kontak budaya, yang sulit dihindari unsur-unsur budaya lokal masuk dalam proses Islamisasi di Indonesia. Oleh karena itu kita sebagai muslim, harus punya sikap kritis dalam melihat konteks akulturasi Islam dan budaya lokal dalam menelaah sejarah Islam di Indonesia. Kita harus punya pandangan, bahwa Islam itu bukanlah suatu sistem yang hanya membicarakan ke Tuhanan saja, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah mengandung ajaran peradaban (tamaddun) yang komplit atau lengkap.
3. Konteks Sistem Budaya Indonesia (sebuah bentuk akulturasi)
A. Budaya Keraton
Perlu dipahami bahwa dalam konteks budaya Indonesia, pernah mengalami apa yang dinamakan dualism kebudayaan, yaitu budaya keraton dan budaya populer. Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan dalam kebudayaan tradisional . Untuk pembahasan ini, kita akan melihat bagaimana pengaruh Islam di kedua bentuk kebudayaan tradisional itu. Namun sebelumnya perlu dijelaskan bahwa ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk mengenal kebudayaan. Pertama, siapa yang menciptakan kebudayaan; kedua, bagaimana bentuk-bentuk kebudayaan yang diciptakan itu, dan yang terakhir dampak apa yang ditimbulkan oleh kebudayaan itu.
Untuk konteks budaya istana atau budaya keraton, kebudayaan dikembangkan oleh abdi dalem atau pegawai istana, mulai dari pujangga sampai pandai bangunan (arsitek). Raja berkepentingan menciptakan simbol-simbol budaya tertentu dengan tujuan untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya bentuk-bentuk kebudayaan yang diciptakan untuk kepentingan itu adalah mitor. Di dalam sastra kerajaan, mitor-mitor itu dihimpun, misalnya dalam babad, hikayat, dan lontara . Hampir semua mitologi yang terdapat dalam bentuk-bentuk sastra, berisi cerita-cerita ajaib tentang kesaktian raja, kesucian, dan kekuatan-kekuatan supranatural. Sesungguhnya pengaruh yang hendak dicapai oleh penciptaan simbol-simbol budaya mitologis kerajaan ini, adalah agar rakyat senantiasa loyal, taat, dan patuh kepada kekuasaan raja. Sebagai missal, dalam babad tanah Jawi, raja digambarkan sebagai pemegang “wahyu” yang dengannya ia merasa sah untuk mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan untuk memerintah rakyatnya. Sultan Agung contohnya memiliki gelar Khalifatullah panatagama atau wakil Tuhan, di tanah jawa.
Selain mitos, budaya keraton juga memproduksi sastra mistik. Bila mitos ditujukan untuk mengukuhkan kekuasaan raja dan loyalitas rakyat, maka sastra mistik ditujukan untuk memberikan pengetahuan tentang kosmologi. Dalam hasanah mistik jawa misalnya, kita mengenal adanya sastra suluk yang menggambarkan konsep tentang – sangkan – paraning – dumadi, yaitu suatu konsep tentang realitas kosmos dan kedudukan manusia di dalamnya. Sastra-sastra mistik kerajaan semacam ini seolah-olah memberikan pesan, agar manusia dapat memahami dunianya dalam konteks kosmologi keraton.
Dua produk budaya yang bersifat mistis dan mistis yang diciptakan oleh keraton sama-sama bertujuan untuk mempertahankan Status quo kerajaan. Mitologi dan mistisisme keraton dalam rangka meligitimasikan kekuasaan mutlaknya dengan cara menciptakan silsilah genealogis, bahwa dia adalah keturunan dewa. Tapi anehnya, pada saat yang sama dia juga mengklaim sebagai keturunan para Nabi.
Yang menarik adalah bahwa ternyata betapa pun dalam kebudayaan keraton dominasi Hinduisme atau pun filsafat pra – Hindu terasa sangat kuat, namun pengaruh Islam pun meninggalkan bekas yang cukup kuat. Dalam silsilah genealogis raja-raja jawa, terlihat banyak sekali konsep yang dipinjam dari warisan mistik Islam. Meskipun raja Jawa diklaim sebagai keturunan para dewa suatu indikasi yang menunjukkan pengaruh Hinduisme, tapi akar genealogis teratas dilukiskan dalam konsep nur-roso dan nur-cahyo. Menurut silsilah keraton, nur-roso dan nur-cahyo inilah yang melahirkan Nabi Adam AS, dan dewa-dewa sebagai kakek moyang raja-raja jawa. Setelah nur-roso dan nur-cahyo, konotasinya bersifat jawa, tapi mengingatkan kita pada konsep Nur-Muhammad dalam khasanah mistik Islam. Jelas bahwa dari contoh ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa banyak budaya mistik Islam di pinjam oleh kebudayaan keraton Jawa; kendatipun ia justru dipakai untuk melegitimasi kosmologinya sendiri.
Demikianlah, di samping mewarisi tradisi filsafat Hindu atau pra- Hindu, budaya keraton Jawa, ternyata juga mewakili pengaruh Islam, betapa pun kita perlu mencatat adanya perdebatan tentang apakah yang terjadi adalah mistisme Jawa yang di Islamkan atau justru konsep-konsep Islam yang dijawakan.
Pertanyaannya sekarang; adalah bagaimana sikap kebudayaan keraton sendiri terhadap pengaruh Islam ini ? seberapa besar daya tahannya, dan seberapa besar pula pengaruh Islam terhadap pembentukan budaya jawa ? bagaimana tarik-menarik antara dua kekuatan budaya itu akhirnya menghasilkan sinkritisme ?
Dalam hubungan dengan konsep tentang kekuasaan, terlihat adanya perbedaan antara kebudayaan Jawa dan Islam. Dalam kebudayaan Jawa dikenal konsep mengenai kekuasaan mutlak raja. Sementara Islam menekankan konsep tentang raja yang adil, al-Malik-al-‘adl. Dalam Islam kekuasaan raja adalah keadilannya. Ini jelas berbeda dengan konsep jawa yang melihat kekuasaan dalam dimensi kemutlakannya.
Hal yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa budaya keraton di luar jawa memiliki konsep yang lebih dekat dengan gagasan Islam. Di Aceh, misalnya, raja memiliki sebutan sebagai al-Malik-al-‘adl. Ini berarti pula bahwa berbeda dengan kebudayaan keraton jawa yang lebih menekankan konsep kekuasaan, kebudayaan keraton di luar jawa lebih menekankan konsep keadilan.
Karena konsep kekuasaan mutlak yang diterapkan di dalam keraton jawa, maka timbullah dilema pertentangan antara jawa dengan Islam ketika proses islamisasi nusantara. Salah satunya yang terpenting adalah para persoalan tentang sosial kemasyarakatan. Konsep jawa mengenai ketertiban sosial lebih didasarkan pada konsep kekuasaan mutlak raja, sementara Islam mengajarkan bahwa ketertiban sosial masyarakat terjamin bila peraturan-peraturan syari’ah ditegakkan. Disinilah letak perbedaan yang sering menimbulkan ketegangan.
Contoh tentang konflik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang raja dari Demak. Siti Jenar dikenal sebagai seorang wali yang cenderung mistik yang sangat kuat. Jalan tarikat yang dia tempuh sering menimbulkan ketegangan dengan ketentuan-ketentuan syariah yang baku. Sering dengan kekuatan mistiknya menyebabkan ia meremehkan hukum-hukum yang sudah diadopsi oleh kerajaan oleh karena itulah Siti Jenar di hukum mati dengan cara dibakar (meskipun pada akhirnya, dia tidak mati).
Dari uraian mengenai budaya keraton dalam menghadapi pengaruh budaya Islam cenderung bersifat defensive. Pada kaum bangsawan dan kalangan istana menerima pengaruh-pengaruh tertentu dari Islam selama pengaruh-pengaruh tersebut dapat diadopsi untuk status quo kekuasaan jawa, dan dapat ditundukkan dalam konsep kosmologinya. Inilah sikap yang tampak menjadi karakteristik budaya keraton jawa dalam berhadapan dengan Islam, suatu sikap yang berbeda diambil oleh budaya keraton di luar jawa yang cenderung menerima sepenuhnya pengaruh Islam sebagai unsur pembentukannya yang utama.
B. Budaya Populer (Masyarakat Biasa)
Sama halnya di dalam budaya keraton, dalam budaya populer (budaya rakyat) juga dikenal adanya cerita-cerita mitologis dan mistis. Cerita mengenai wali songo menjadi bukti hal ini. Sebagai contoh sunan kalijaga, dalam kisah-kisah dari pantai Utara Jawa begitu terkenal sampai orang mempercayai adanya sebuah batu bekas sujudnya. Kisah semacam ini adalah salah satu contoh dari mitologi Islam di jawa.
Cerita-cerita mengenai penyebaran Islam dalam masyarakat jawa, banyak sekali diwarnai oleh mitologi-mitologi semacam ini. Sampai sekarang misalnya, kita sering mendengar adanya kiyai-kiyai sakti yang dapat shalat di Mekkah dalam waktu sekejap untuk kemudian pulang kembali ke pesantrennya.
Yang lebih pentng di amati, adalah meskipun kadang-kadang pengaruh budaya populer Islam menjadi berwarna mistis, tapi pada perkembangan berikutnya kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer Indonesia . Disinilah Islam sebagai agama yang bersifat universal, dengan pandangan hidup, mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistic sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dimensi, elastis, dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan oleh Gus Dur dengan “Pribumisasi Islam”.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak buktinya. Contoh Masjid Demak bentuk kongkret dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep “Meru” dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja. Hal ini melambangkan tiga atap keberagaman seorang muslim; Iman, Islam, dan ihsan”. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat; Barulah kemudian ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat, dan ma’rifat. Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing,, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu membawa kuil. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam.
Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlibat dalam bangunan-bangunan masjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian.
Selain itu, yang patut diamati pula kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia. Kota kata bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya populer. Demikian juga dalam ekspresi-ekspresi ritual, dan sosial dikenal upacara “tabut” (di Sumatera) untuk memperingati maulid Nabi, begitu juga di Jawa dengan upacara “Sekatennya”. Seni musik tidak kalah pentingnya, seperti : Terbangan, qasidah Rebana, dan gambus di daerah Jawa, Sumatera dan Sulawesi.
Dalam penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang “Arabi-sasi”, mana yang “Islamisasi”. Penggunaan dan sosialisasi terma-terma Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam, tetap penting dan signifikan, serta bukan seperti yang dikatakan Gusdur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran. Begitu penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata “nyembah Sang Hyang) adalah proses islamisasi, bukan arabisasi. Pola-pola seperti ini adalah merupakan karakter dasar Islam Nusantara.
Islam nusantara disebut sebagaisuatu entitas, karena memiliki karakter yang khas yang membedakan Islam di daerah lain, karena perbedaan sejarah, dan perbedaan geografis dan budaya yang dipijaknya. Selain itu Islam yang datang ke nusantara memiliki strategi dan kesiapan tersendiri, antara lain: Pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi, tradisi berseberangan apapun tidak dilawan, tetapi diapresiasi, kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah usang, sehingga Islam dapat diterima sebagai agama. Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka.
Dengan fakta-fakta sejarah tersebut, maka dapat disaksikan agama Islam dipeluk atau dianut oleh seluruh masyarakat nusantara. Bagi mereka yang memperoleh pengetahuan keagamaan yang memadai, mereka menjadi Islam santri yang taat. Sementara bagi mereka yang kurang memperoleh pengetahuan keagamaan, disebut dengan Islam abangan; mereka secara ritual tidak taat, tetapi mereka kukuh memegang tradisi, yang semuanya telah bernuansa Islami.
Bagi kalangan Islam nusantara, mereka ini telah dianggap sebagai muslimin, sementara kelompok Islam yang lain menganggap mereka sebagai orang belum muslim. Ketegangan Islam dengan kelompok abangan ini tercermin dalam ketegangan kelompok Islam dan nasionalis.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kehadiran Islam ke nusantara tidak lepas dari nuansa, dimana Islam itu lahir. Sungguhpun demikian, ia mampu beradaptasi dengan kebudayaan lokal, dimana Islam itu datang. Proses persenyawaan keislaman dengan kenusantaraan, menjadikan Islam yang ada di nusantara ini, mudah diterima oleh masyarakat. Tidak ada resistensi; yang ada adalah penyambutan. Sungguhpun ada modifikasi, itu tidak lebih pada injeksi nilai-nilai keislaman dalam tradisi yang telah ada.
Dalam perkembangannya, Islam nusantara dengan wataknya yang moderat dan apresiatif terhadap budaya lokal, serta memihak warga setempat dalam menghadapi tantangan, menyebabkan Islam mudah diterima sebagai agama baru.
Bukti nyata dari proses persenyawaan antara Islam dan budaya lokal, dapat ditemukan dalam bentuk karya Babad, hikayat, lontara, sastra suluk, mitologi. Kemudian dari segi bentuk arsitektur bangunan-bangunan atap masjid Demak yang berlapis sembilan “dari Meru” pra Islam, kemudian diganti oleh Sunan Kalijaga menjadi tiga yang melambangkan Iman, Islam, dan Ihsan. Budaya selamatan, Maulid Nabi, Yasinan, Sekaten. Dalam istilah, seperti wahyu, wali, ilham; juga dalam bidang seni, seperti qasidah rebana, gambus, penggunaan istilah shalat untuk menggantikan istilah sembahyang, dari kata “nyembah” Sang Hyang (unsur Hindu)



DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan. Demi Dakwah. Bandung: Al-Maarif,1976.

Arif, Syaiful. NU Pasca Tradiri. Pergeseran Nilai Pasca Orde Baru. Jakarta: Tasywirul Afkar Lakpesdam, 2009.

Arnold, Sejarah Dakwah Islam (The Preaching of Islam). Terj. Nawawi Rambe. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Hamkah, Sejarah Umat Islam, Jilid IV,Cet. Ke-3. Jakarta: Bulang Bintang, 1981.

Kunto Widjoyo. Paradigma Islam. Interpretasi untuk Aksi, Cet. Ke-7. Jakarta: Mizan, 1996.

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Cet. Ke-17. Jakarta: Djambatan, 1999.

Munawir, Imam. Kebangkitan Islam dan Tantangan yang Dihadapi. Jakarta: Bina Ilmu, 1984.

Mun’im DZ, Abdul. Meneguhkan Jangkar Islam Nusantara”. Tasywirah Afkar No.26 (2008): h. 7.

Nursyam. Islam Pesisir. Cet. I. Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2005.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1980.

Majid, Nurcholis. Islam, Doktrin dan Peradaban, Cet. VI. Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, 2008.

Soebardi. The Book of Cobolek”. The Haaq: Nijhoff, 1975.

Wahid, Abdurrahman, Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Cet. I. Jakarta: P3M, 1989.

Wahid, Abdurrahman, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Islam dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, dalam Budi Munawar Rasnian, eds. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994.

Read More......

Bursa Jual Beli dan Sewa Menyewa