Selasa, 11 Januari 2011

Home » » Fajar News : Ketika Para Profesor Menggugat Demokrasi Indonesia

Fajar News : Ketika Para Profesor Menggugat Demokrasi Indonesia

Fajar News : Ketika Para Profesor Menggugat Demokrasi Indonesia
Minggu, 9 Januari di Redaksi Fajar, 24 profesor se Sulsel yang tergabung dalam Asosiasi Profesor Indonesia (API) berkumpul dan menggelar diskusi terbatas mengenai demokrasi. Seperti apa jalannya diskusi tersebut?
Prof Dr Anwar Arifin membuka diskusi dengan makalahnya yang mengangkat tema "Demokrasi di Indonesia, Bibit Unggul yang Merana". Dari temanya saja, tampak jelas mantan politisi Senayan ini kecewa dengan praktek demokrasi di Indonesia dewasa ini.
"Sebenarnya, apa itu demokrasi? Demokrasi itu bola liar. Tak ada defenisi yang pasti. Sebab tiap-tiap negara punya persepsi sendiri tentang demokrasi," katanya.
Yang berkembang di Indonesia, lanjut Prof Anwar, demokrasi diartikan sebagai pemilihan langsung. Prof Anwar yang punya pengalaman di Senayan selama lima tahun ini membeberkan betapa demokrasi di Indonesia justru telah membuat tatanan politik dan ekonomi masyarakat berubah menjadi sekuler.
Dia mengingatkan, demokrasi yang diadopsi dari dunia Barat dibangun atas dasar rasionalitas, humanis, dan eligiter. Dari situ terciptalah kelompok-kelompok kepentingan yang menonjol baik secara ekonomi maupun sosial. Demokrasi pun dijadikan sistem agar aspirasi kelompok-kelompok ini bisa tersalurkan melalui keterwakilan.
"Karena itu, kelompok-kelompok inilah yang membiayai kampanye calon wakilnya. Supaya kelak jika terpilih, wakilnya itu bisa melindungi kepentingannya," jelasnya.
Sementara Indonesia, kelompok-kelompok kepentingan seperti di Barat itu justru tidak tumbuh. Pasalnya, masyarakat Indonesia masih menonjolkan aspek kekeluargaan, kesukuan, kedaerahan, dan agama atau primordial dalam sebutan politiknya. Demokrasi yang diartikan pemilihan langsung di negeri ini, dianggap masyarakat bukan sebagai kepentingan mereka. Melainkan kepentingan para elite.
"Karena merasa bukan kepentingannya, maka mereka berasumsi yang ikut pemilihan lah yang punya kepentingan. Sehingga kandidat lah yang harus membeli suara mereka," tambahnya.
Makanya, money politic tidak sepenuhnya menjadi kesalahan para kandidat. Namun juga dari kalangan akar rumput sendiri. Mereka yang terpilih akhirnya tidak pernah jelas keberpihakannya.
Bukti konkretnya, kata Prof Anwar, tak ada partai yang benar-benar konsen dalam membela kepentingan petani meski di negeri ini berpenduduk lebih 80 persen petani. Yang banyak adalah partai yang mengatasnamakan petani.
"China itu negara komunis. Tapi mereka jelas memperjuangkan kepentingan petani. Di Eropa, keterwakilan buruh di parlemen juga sangat nyata. Bahkan, di Malaysia, Melayu dan Islam menjadi prioritas. Di Indonesia, mana ada partai yang benar-benar fokus membela petani. Malah yang ada perwakilannya adalah artis," kritiknya.
Selama Indonesia merdeka, sistem demokrasi belum menunjukkan hasil yang benar-benar memuaskan. Padahal sistem demokrasi diharapkan bisa membawa masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera. Kenyataannya, kemiskinan dan penderitaan masih ada di mana-mana. Itu belum ditambah dengan ulah elite yang memporak-poranda sendi-sendi politik, ekonomi, dan hukum di negeri ini.
"Dari seluruh negara berpenduduk muslim yang ada di dunia, hanya Indonesia dan Pakistan yang menganut demokrasi. Lebih banyak yang menganut sistem kerajaan seperti di Malaysia," tuturnya.
Merujuk dari kondisi Indonesia dewasa ini, Prof Anwar pun menduga sistem demokrasi yang diadopsi dari Barat itu tidak cocok untuk Indonesia. "Dalam dunia kedokteran, organ yang cangkok bisa membuat tubuh semakin parah," tandasnya.
Setali tiga uang, panelis lainnya, Prof Dr Armin Arsyad, juga mencibir praktik demokrasi di Indonesia. Dalam tataran teori, kata Prof Armin, demokrasi memiliki sejumlah keunggulan antara lain memberi kesempatan yang sama untuk memperoleh akses politik, ekonomi dan hukum, rule of the game, toleransi terhadap perbedaan, serta kelas menengah yang kuat.
"Tapi di Indonesia, praktik demokrasi justru membuat masyarakat merana," katanya. Akses politik, ekonomi, dan hukum dalam kenyataannya hanya dimiliki oleh kaum elite. Peraturan yang seharusnya menjadi landasan bersama pun tidak ada artinya. Buktinya, nyaris seluruh pemilihan langsung berujung konflik. Toleransi atas perbedaan juga belum sepenuhnya terwujud di negara ini.
Yang nyaris tidak ada, kata Prof Armin, adalah kelompok kelas menengah yang kuat. Kelompok yang dimaksud ini adalah orang-orang yang secara ekonomi mampu berpenghasilan Rp10 juta per bulan dan bukan berasal dari pemerintah.
"Banyak orang kaya yang penghasilannya Rp10 juta ke atas. Tapi sumbernya dari pemerintah, dari proyek-proyek. Mereka sangat bergantung dengan pemerintah. Sedangkan kelompok kelas menengah yang kuat itu, pasti tidak akan terpengaruh dengan sogokan. Sayangnya, jumlah mereka teramat sedikit," jelasnya.
"Dari sini timbul pertanyaan, apakah kedua panelis menyatakan demokrasi tidak cocok lagi di Indonesia? Atau, apakah sistem demokrasinya sudah bagus, tapi prakteknya saja yang tidak bagus?" kata moderator Prof Dr Qasim Mathar seraya mempersilakan para peserta bergiliran menyampaikan tanggapannya.
Pemaparan kedua panelis tersebut mendapat tanggapan yang beragam dari peserta yang juga profesor. Ada yang mendukung, ada juga yang tidak setuju.
Prof Dr Hasyim Aidid misalnya, mengatakan demokrasi di Indonesia sebenarnya masih bisa diperbaiki jika syarat-syarat demokrasi itu dijalankan dengan baik. Prof Dr Rasyid A berpandangan, Indonesia memang masih membutuhkan waktu untuk mencari identitas demokrasinya.
Tanggapan Prof Dr Zainuddin Taha agak berbeda. Dia mengatakan, Indonesia seharusnya tidak perlu belajar demokrasi jauh-jauh. Menurut di, demokrasi masjid sebenarnya bisa menjadi teladan yang baik.
"Kita sebenarnya punya demokrasi masjid yang sangat ideal. Dia sangat transparan (secara ekonomi), pemilihannya imamnya punya aturan yang jelas, dan para jamaah begitu sopan kepada imam," katanya.
Di akhir diskusi tersebut, Prof Anwar mengatakan sistem demokrasi yang cocok haruslah berlandaskan sejarah dan budaya Indonesia sendiri. Dia menganggap sila keempat Pancasila adalah landasan pokok demokrasi yang sangat ideal bagi negeri ini.
Sedangkan Prof Armin merasa Indonesia yang rakyatnya masih miskin, seharusnya dipimpin oleh orang yang kuat namun bijaksana. "Seperti orang tua yang keras kepada anaknya, namun hal itu dia lakukan semata-mata untuk kebaikan sang anak," kata Prof Armin.
Hanya saja, sosok pemimpin yang kuat namun bijaksana tersebut sulit ditemukan. Yang ada, orang yang kuat selalu menindas yang lemah. (*)

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mali Siparappe, Rebba Sipatokkong, Malilu Sipakainge, Sipakatau Sipakalebbi.
Komentar sahabat-sahabat sangat membantu saya untuk lebih baik "TERIMA KASIH SEBELUMNYA"
Bila sahabat-sahabat ingin TUKERAN LINK klik aja DI SINI

Bursa Jual Beli dan Sewa Menyewa