Rabu, 02 Februari 2011
SBY Ancam Pidanakan Penggalang Koin untuk Presiden
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono mengancam akan mempidanakan sejumlah anggota DPR dan aktivis mahasiswa yang menggumpulkan koin untuk Presiden. Aksi itu dinilai sebagai pelecehan dan pencemaran terhadap simbol negara.
"Ya, tentu kita tahu bahwa negara ini punya mekanisme, punya aturan hukum yang pas dan ini berlaku universal dimana pun. Bila terbukti ada pelecehan dan pencemaran nama baik kepala negara, ya tentu ada sanksinya," ujar Juru Bicara Presiden, Julian Pasha, di Istana Presiden, Jakarta, Selasa 1 Februari.
Menurut Julian, saat ini sedang dipikirkan apakah perlu aksi pelecehan itu ditindaklanjuti. "Tapi yang pasti patut disesali. Lebih jelas lagi, tindakan ini tidak ada manfaatnya, kalau tidak boleh disebutkan tindakan yang kurang waras," tegas Julian.
Julian menerangkan, pelecehan terhadap simbol negara diatur dalam Undang-Undang. Terutama terhadap lembaga Kepresidenan atau kepala negara.
"Sekali lagi, kalau tujuannya adalah untuk pelecehan simbol negara, hal tersebut sudah diatur di negara hukum, ada sanksi bila memang tujuannya untuk pelecehan/penghinaan terhadap simbol negara, terutama terhadap lembaga kepresidenan dan kepala negara," jelasnya.
Dia menambahkan, kewibawaan simbol negara harus dijunjung oleh tiap warga negara. Tidak bisa semua orang sembarangan melecehkan dimanapun tanpa alasan dan dasar kuat. "Negara ini adalah negara hukum dan semua harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum," tukasnya. (zul/RMOL)
Read More......
Selasa, 11 Januari 2011
Fajar News : Ketika Para Profesor Menggugat Demokrasi Indonesia
Fajar News : Ketika Para Profesor Menggugat Demokrasi Indonesia
Minggu, 9 Januari di Redaksi Fajar, 24 profesor se Sulsel yang tergabung dalam Asosiasi Profesor Indonesia (API) berkumpul dan menggelar diskusi terbatas mengenai demokrasi. Seperti apa jalannya diskusi tersebut?
Prof Dr Anwar Arifin membuka diskusi dengan makalahnya yang mengangkat tema "Demokrasi di Indonesia, Bibit Unggul yang Merana". Dari temanya saja, tampak jelas mantan politisi Senayan ini kecewa dengan praktek demokrasi di Indonesia dewasa ini.
"Sebenarnya, apa itu demokrasi? Demokrasi itu bola liar. Tak ada defenisi yang pasti. Sebab tiap-tiap negara punya persepsi sendiri tentang demokrasi," katanya.
Yang berkembang di Indonesia, lanjut Prof Anwar, demokrasi diartikan sebagai pemilihan langsung. Prof Anwar yang punya pengalaman di Senayan selama lima tahun ini membeberkan betapa demokrasi di Indonesia justru telah membuat tatanan politik dan ekonomi masyarakat berubah menjadi sekuler.
Dia mengingatkan, demokrasi yang diadopsi dari dunia Barat dibangun atas dasar rasionalitas, humanis, dan eligiter. Dari situ terciptalah kelompok-kelompok kepentingan yang menonjol baik secara ekonomi maupun sosial. Demokrasi pun dijadikan sistem agar aspirasi kelompok-kelompok ini bisa tersalurkan melalui keterwakilan.
"Karena itu, kelompok-kelompok inilah yang membiayai kampanye calon wakilnya. Supaya kelak jika terpilih, wakilnya itu bisa melindungi kepentingannya," jelasnya.
Sementara Indonesia, kelompok-kelompok kepentingan seperti di Barat itu justru tidak tumbuh. Pasalnya, masyarakat Indonesia masih menonjolkan aspek kekeluargaan, kesukuan, kedaerahan, dan agama atau primordial dalam sebutan politiknya. Demokrasi yang diartikan pemilihan langsung di negeri ini, dianggap masyarakat bukan sebagai kepentingan mereka. Melainkan kepentingan para elite.
"Karena merasa bukan kepentingannya, maka mereka berasumsi yang ikut pemilihan lah yang punya kepentingan. Sehingga kandidat lah yang harus membeli suara mereka," tambahnya.
Makanya, money politic tidak sepenuhnya menjadi kesalahan para kandidat. Namun juga dari kalangan akar rumput sendiri. Mereka yang terpilih akhirnya tidak pernah jelas keberpihakannya.
Bukti konkretnya, kata Prof Anwar, tak ada partai yang benar-benar konsen dalam membela kepentingan petani meski di negeri ini berpenduduk lebih 80 persen petani. Yang banyak adalah partai yang mengatasnamakan petani.
"China itu negara komunis. Tapi mereka jelas memperjuangkan kepentingan petani. Di Eropa, keterwakilan buruh di parlemen juga sangat nyata. Bahkan, di Malaysia, Melayu dan Islam menjadi prioritas. Di Indonesia, mana ada partai yang benar-benar fokus membela petani. Malah yang ada perwakilannya adalah artis," kritiknya.
Selama Indonesia merdeka, sistem demokrasi belum menunjukkan hasil yang benar-benar memuaskan. Padahal sistem demokrasi diharapkan bisa membawa masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera. Kenyataannya, kemiskinan dan penderitaan masih ada di mana-mana. Itu belum ditambah dengan ulah elite yang memporak-poranda sendi-sendi politik, ekonomi, dan hukum di negeri ini.
"Dari seluruh negara berpenduduk muslim yang ada di dunia, hanya Indonesia dan Pakistan yang menganut demokrasi. Lebih banyak yang menganut sistem kerajaan seperti di Malaysia," tuturnya.
Merujuk dari kondisi Indonesia dewasa ini, Prof Anwar pun menduga sistem demokrasi yang diadopsi dari Barat itu tidak cocok untuk Indonesia. "Dalam dunia kedokteran, organ yang cangkok bisa membuat tubuh semakin parah," tandasnya.
Setali tiga uang, panelis lainnya, Prof Dr Armin Arsyad, juga mencibir praktik demokrasi di Indonesia. Dalam tataran teori, kata Prof Armin, demokrasi memiliki sejumlah keunggulan antara lain memberi kesempatan yang sama untuk memperoleh akses politik, ekonomi dan hukum, rule of the game, toleransi terhadap perbedaan, serta kelas menengah yang kuat.
"Tapi di Indonesia, praktik demokrasi justru membuat masyarakat merana," katanya. Akses politik, ekonomi, dan hukum dalam kenyataannya hanya dimiliki oleh kaum elite. Peraturan yang seharusnya menjadi landasan bersama pun tidak ada artinya. Buktinya, nyaris seluruh pemilihan langsung berujung konflik. Toleransi atas perbedaan juga belum sepenuhnya terwujud di negara ini.
Yang nyaris tidak ada, kata Prof Armin, adalah kelompok kelas menengah yang kuat. Kelompok yang dimaksud ini adalah orang-orang yang secara ekonomi mampu berpenghasilan Rp10 juta per bulan dan bukan berasal dari pemerintah.
"Banyak orang kaya yang penghasilannya Rp10 juta ke atas. Tapi sumbernya dari pemerintah, dari proyek-proyek. Mereka sangat bergantung dengan pemerintah. Sedangkan kelompok kelas menengah yang kuat itu, pasti tidak akan terpengaruh dengan sogokan. Sayangnya, jumlah mereka teramat sedikit," jelasnya.
"Dari sini timbul pertanyaan, apakah kedua panelis menyatakan demokrasi tidak cocok lagi di Indonesia? Atau, apakah sistem demokrasinya sudah bagus, tapi prakteknya saja yang tidak bagus?" kata moderator Prof Dr Qasim Mathar seraya mempersilakan para peserta bergiliran menyampaikan tanggapannya.
Pemaparan kedua panelis tersebut mendapat tanggapan yang beragam dari peserta yang juga profesor. Ada yang mendukung, ada juga yang tidak setuju.
Prof Dr Hasyim Aidid misalnya, mengatakan demokrasi di Indonesia sebenarnya masih bisa diperbaiki jika syarat-syarat demokrasi itu dijalankan dengan baik. Prof Dr Rasyid A berpandangan, Indonesia memang masih membutuhkan waktu untuk mencari identitas demokrasinya.
Tanggapan Prof Dr Zainuddin Taha agak berbeda. Dia mengatakan, Indonesia seharusnya tidak perlu belajar demokrasi jauh-jauh. Menurut di, demokrasi masjid sebenarnya bisa menjadi teladan yang baik.
"Kita sebenarnya punya demokrasi masjid yang sangat ideal. Dia sangat transparan (secara ekonomi), pemilihannya imamnya punya aturan yang jelas, dan para jamaah begitu sopan kepada imam," katanya.
Di akhir diskusi tersebut, Prof Anwar mengatakan sistem demokrasi yang cocok haruslah berlandaskan sejarah dan budaya Indonesia sendiri. Dia menganggap sila keempat Pancasila adalah landasan pokok demokrasi yang sangat ideal bagi negeri ini.
Sedangkan Prof Armin merasa Indonesia yang rakyatnya masih miskin, seharusnya dipimpin oleh orang yang kuat namun bijaksana. "Seperti orang tua yang keras kepada anaknya, namun hal itu dia lakukan semata-mata untuk kebaikan sang anak," kata Prof Armin.
Hanya saja, sosok pemimpin yang kuat namun bijaksana tersebut sulit ditemukan. Yang ada, orang yang kuat selalu menindas yang lemah. (*)
Sabtu, 25 Desember 2010
Fajar Ekspresi : Kebiasaan Tidur di Kelas
Fajar Ekspresi : Kebiasaan Tidur di Kelas
Ada banyak hal yang para pelajar lakukan disaat proses belajar mengajar berlangsung. Saat di kelas, ada yang serius, ada yang suka ngejoke, ada juga yang malas-malasan. Nah, yang malas-malasan ini nih yang kudu diberantas anak sekolah. Salah satunya, kebiasaan tidur di kelas. Hayyo, ngaku! Sering kan ngelakuin kebiasaan buruk satu ini?
Any way, tidur di kelas ini sebenarnya bisa dihilangkan. Yang penting tuh, sobat KeKeR gak menjadikan faktor bikin kamu suka ngantuk jadi kebiasaan buruk. Apa itu ? Nih, Zaenab Rezky S Gandi, ngebocorin hematnya. Menurut Eky, siswi SMAN 1 Makassar ini gak jarang melihat teman sekelasnya tidur. "Banyakan itu cowok," katanya.
Pas ditanya soal faktornya, doi sih menegaskan kalau tidur di kelas itu karena kurangnya istirahat tidur malam. "Kalau cowok, untuk urusan begadang memang sering jadi gaya hidup. Apalagi kalau udah kongkow sama teman, cerita-cerita. Pasti deh tidurnya subuh. Pas sekolah, bawaannya mau tidur deh," beber dara kelahiran 20 September ini semangat.
Hal senada juga keluar dari bibir Indah, siswi SMAN 8 Makassar. Gak jauh-jauh kok, doi juga menanggapi kalau tidur di kelas itu sering dilakoni pelajar kalau udah begadang semalam. "Kalau ada acara tv yang disukai atau teleponan ama pacar jadinya dibela-belain gak tidur. Alhasil, sampai di kelas bawaannya ngantuk," ceritanya.
Kalau Alfiah Mentari, siswi SMAN 3 Makassar, lain lagi. Doi sih ngakunya sering juga tidur di kelas. Tapi alasannya bukan karena begadang atau apa. Tapi justru karena gak sreg dengan pelajaran sekola. "Apalagi kalau gurunya seperti mendongeng, bikin bosan kan," aku yang hobi dengar lagu dan nonton ini.
Well, Guys, udah tahu kan faktor yang bikin pelajar lakoni kebiasaan tidur di kelas. Yah, itu semua adalah fakta. Iya gak, Cing! Makanya nih, solusinya, kudu hilangkan kebiasaan begadang juga. Apalagi untuk hal-hal yang gak penting atau sekadar seru-seruan. Oke! (kiki khalik)
Jumat, 17 Desember 2010
Fajar News : Kisah Pilu di Balik Terbakarnya Pusat Grosir Butung
Fajar News : Kisah Pilu di Balik Terbakarnya Pusat Grosir Butung
KEBAKARAN yang menimpa Pusat Grosir Butung, membuat para pedagang menderita kerugian cukup besar. Pedagang merugi hingga miliaran dalam kebakaran yang berlangsung selama dua hari itu.
PETUGAS pemadam masih sibuk memadamkan sisa-sisa api yang masih menyala di lantai satu dan dua Pusat Grosir Butung, Kamis, 16 Desember. Beberapa pedagang juga sibuk menyelamatkan barangnya yang tidak sempat dilalap si jago merah.
Semua barang yang berhasil diselamatkan, kemudian dikumpulkan dan diangkut ke atas truk. Mereka sibuk bolak-balik dari puing-puing kebakaran, sembari mengangkut karung besar berisi barang dagangan.
Di sisi lain, beberapa warga terlihat berebutan pakaian yang masih utuh di antara puing kios yang terbakar. Ada juga pedagang yang tidak sempat lagi menyelamatkan barangnya, hanya bisa mengais-ngais di puing bekas kiosnya yang terbakar.
Fajar Metro News : Hukum Islam, Bersifat Integrasi atau Mandiri
Fajar Metro News : Hukum Islam, Bersifat Integrasi atau Mandiri
TIDAK ada yang bisa menafikan kedudukan hukum Islam dalam tata hukum Indonesia, kecuali jika mereka adalah antek penjajah negara (pengikut Vollen Hoven dan Snouck Hurgronje) yang mengeluarkan hukum Islam dari tata hukum Hindia Belanda waktu itu.
Secara sosiologis-empirik, praktik-praktik penerapan Hukum Islam di tengah-tengah masyarakat muslim dewasa ini juga terus berkembang, bahkan makin lama makin meningkat dan meluas ke sektor-sektor kehidupan hukum yang sebelumnya belum diterapkan menurut ketentuan Hukum Islam.
Perkembangan ini, berpengaruh pula terhadap kegiatan pendidikan hukum di tanah air, sehingga kepakaran dan penyebaran kesadaran mengenai eksistensi Hukum Islam di Indonesia meningkat pula dari waktu ke waktu.
Klik judul untuk melihat selengkapnya
Rabu, 15 Desember 2010
Fajar Metro News : Kisah Syekh Yusuf akan Difilmkan
Fajar Metro News : Kisah Syekh Yusuf akan Difilmkan
JAKARTA -- Kisah perjalanan Syekh Yusuf bakal bisa disaksikan melalui layar kaca. Pemerintah berencana menceritakan kisah-kisah menarik seputar Syekh Yusuf dalam bentuk film. Skenarionya bahkan sudah digarap sejak tiga tahun lalu.
Ketua Lembaga Sensor Film Indonesia (LSFI) Muchlis Paeni, Minggu, 12 Desember, mengatakan skenarionya dibuat sineas Garin Nugroho. Muchlis mengatakan pihaknya memakai jasa Garin karena tidak ingin film ini dibikin asal-asalan. "Skenarionya sudah selesai. Sekarang kami sedang mencari dana untuk penggarapan film ini," jelasnya.
Muchlis menjelaskan film tentang Syekh Yusuf ini nantinya cukup panjang. Sebab akan menggambarkan masa-masa kecil Syekh Yusuf, pengembaraannya menuntut ilmu, hingga kisah perjalanannya hingga ke Afrika Selatan.
Klik judul untuk melihat selengkapnya
Sabtu, 11 Desember 2010
Fajar Metro News : Demo Anarkis, Masyarakat Telantar
Fajar Metro News : Demo Anarkis, Masyarakat Telantar
MAKASSAR -- Aksi demonstrasi memperingati Hari Antikorupsi se-dunia di Kota Makassar, Kamis, 9 Desember, ternoda. Ulah anarkis demonstran dari berbagai perguruan tinggi menyebabkan masyarakat terkena imbasnya.
Para demonstran yang melakukan aksinya sembari menutup jalan, sangat menyengsarakan masyarakat. Selama tujuh jam, sejak pukul 11.30 hingga 18.30 Wita, masyarakat telantar di jalan. Ini dipicu penutupan jalan serta bentrok di depan kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Jalan Urip Sumoharjo.
Pantauan FAJAR, imbas bentrokan itu menyebabkan kemacetan total di sepanjang Jalan Urip Sumoharjo, Perintis Kemerdekaan, Racing Centre, Abdullah Daeng Sirua, Batua Raya, dan Jalan Adhyaksa. Arus kendaraan mulai normal sekira pukul 19.00 Wita.