Selasa, 01 Juni 2010

Home » » KAJIAN KRITIS TENTANG AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL

KAJIAN KRITIS TENTANG AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara yang muslimnya mayoritas di dunia, namun paling sedikit mendapat pengaruh arabisasi, dibandingkan dengan negara-negara muslim besar lainnya. Itulah sebabnya, dua ciri paling utama dalam kesenian Islam yakni arabesk dan kaligrafi, paling sedikit mempengaruhi budaya Indonesia.
Selain itu, dalam proses Islamisasi di nusantara, penyebaran agama dan kebudayaan Islam tidak menghilangkan kebudayaan lokal dan tidak menggunakan kekuatan militer dalam upaya proses Islamisasi. Hal itu disebabkan karena proses Islamisasi dilakukan penetrasi secara damai melalui jalur perdagangan, kesenian, dan perkawinan dan pendidikan.
Hasil islamisasi dengan cara demikian menghasilkan praktik sinkritisme yang luas. Salah satu indikasinya adalah sistem penanggalan Jawa, yang mempertahankan asal usul Hindu kalender Shaka, tetapi mengubah sistem penanggalannya berdasarkan nama-nama penanggalan Islam.
Untuk mengetahui hal itu, pertama-tama kita harus memahami dalam konteks budaya Indonesia, dimana pernah mengalami apa yang dinamakan dualism kebudayaan, yaitu antara budaya keratin dan budaya populer di tingkat bawah (masyarakat). Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan dalam kebudayaan tradisional. Untuk kepentingan pembahasan ini, kita akan melihat bagaimana pengaruh Islam di kedua bentuk kebudayaan tradisional itu.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pembahasan pokok dalam makalah ini, adalah fokuskan pada aspek-aspek berikut ini:
1. Apa yang dimaksud dengan akulturasi ?
2. Benarkah ada unsur antara Islam dengan budaya lokal setempat ?
3. Meliputi apa saja bentuk akulturasi antara Islam dengan budaya lokal setempat ?
4. Mengapa Islam yang datang ke Indonesia sebagai pembawa tamaddun, dan peng Esaan Tuhan, tetap melibatkan budaya lokal dan bersifat akomodatif dalam proses islamisasi di nusantara.
C. Metode Pendekatan dan Analisis
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode fisiologis, teologis, historis dan sosiologis kultural. Metode ini di pakai untuk menelaah, mengkaji, menganalisis hubungan-hubungan konsul antara fakta-fakta sejarah mengenai kajian kritis terhadap proses akulturasi antara Islam dan budaya lokal.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Akulturasi
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia “akulturasi” adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi atau proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu.
Dari pengertian akulturasi ini, maka dalam konteks masuknya Islam ke Nusantara (Indonesia) dan dalam perkembangan selanjutnya telah terjadi interaksi budaya yang saling mempengaruhi. Namun dalam proses interaksi itu, pada dasar kebudayaan setempat yang tradisional masih tetap kuat, sehingga terdapat suatu bentuk perpaduan budaya asli (lokal) Indonesia dengan budaya Islam. Perpaduan inilah yang kemudian disebut akulturasi kebudayaan.
2. Latar Belakang Sejarah sebagai Bukti Adanya akulturasi Islam dan Budaya Lokal
Sebelum Islam datang ke Indonesia, di Nusantara (Indonesia) telah berdiri kerajaan-kerjaan yang bercorak Hinduisme dan Budhisme. Seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Akan tetapi setelah proses islamisasi dimulai sejak abad ke XIII, unsur agama Islam sangat memegang peranan penting dalam membangun jaringan komunikasi antara kerajaan-kerajaan pesisir dengan kerajaan-kerajaan pedalaman yang masih bercorak Hindu-Budha. Misalnya di daerah pesisir utara Jawa, kerajaan-kerajaan yang berdiri umumnya diperintah oleh pangeran-pangeran saudagar. Mereka takluk kepada raja Majapahit. Tetapi setelah raja-raja setempat memeluk agama Islam, maka mereka menggunakan Islam sebagai senjata politik dan ekonomi untuk membebaskan diri sepenuhnya dari kekuasaan Majapahit.
Setelah runtuhnya Majapahit 1520 M; di daerah pesisir proses Islamisasi berjalan sangat intensif hingga akhirnya berdirilah kerajaan-kerajaan Islam seperti, Demak, Banten dan Cirebon. Namun dalam segi pemahaman aqidah Islam, tidak serta merta mantap, dan melenyapkan alam pikiran filsafat lama, seperti Hindu dan Budha. Mereka memang mengucapkan kalimat Syahadat, akan tetapi kenang-kenangan dan praktik-praktik kepada kepercayaan kepada Bata Guru, Batara Wisnu, Dewata Sewwa’E , dan lain masih tetap hidup. Disinilah muncul kecenderungan sinkritisme. Dengan demikian, maka Islam yang berkembang di pedalaman Jawa berbeda dengan Islam yang berkembang di pesisir adalah Islam yang mobilitas sosialnya tinggi dan mengikuti perkembangan dunia Islam (orthodox).
Setelah kerajaan Majapahit runtuh, maka muncul penggantinya di daerah pedalaman, muncullah kerajaan Mataram Islam tahun 1575 M. Karena masa peralihan yang lama antara kerajaan Islam pedalaman dan Islam pesisir, menyebabkan mereka saling berebut pengaruh yang menyebabkan terjadinya peperangan. Sultan Agung (1613 – 1645 M) dari kerajaan Mataram berusaha merebut kekuasaan kerajaan pesisir, sehingga unsur agama memegang peranan kembali, yakni di mata kerajaan-kerajaan pesisir kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam yang sinkritisme. Di keraton kesultanan berkumpul segolongan pujangga yang mencampuradukkan antara Islam dengan Hindu, seperti terbukti pada Babad tanah jawi yang mengandung pencampuran Islam dengan Hinduisme. Dalam kisah babad tanah jawi di katakan bahwa, adapun raja-raja jawa berasal dari Nabi Adam yang mempunyai anak Sis, seterusnya mempunyai anak Nurcahya. Lalu Nurasa, kemudian Sang Hyang Wening, seterusnya sang Hyang Tunggal, dan akhirnya dijumpai Batara Guru yang gilirannya mempunyai Batara Wisnu sebagai salah seorang puteranya yang kemudian menjadi raja jawa dengan nama Pabru Set. Inilah sebuah contoh sinkritisme yang tidak disenangi oleh para alim ulama dan sultan-sultan pesisir. Sebagai bentuk kepeduliannya, maka para ulama di pesisir giat memasuki daerah pedalaman, melakukan gerakan dakwah di daerah kerajaan Mataram, menyerukan perlawanan rakyat terhadap Sultan Agung.
Dari kisah Babad Tahan Jawi itu, maka kita dapat melihat bahwa telah menyebabkan terjadinya pertentangan antara kerajaan Islam di pesisir dengan sikap ortodoksnya , dengan kerajaan Islam pedalaman yang sinkritisme. Disinilah awal munculnya pertentangan antara Islam Sinkritisme dan ortodoks dalam arti telah terjadi pergumulan antara mempertahankan kemurnian akidah dengan pencampuran akidah yang dilakukan oleh kerajaan Islam di pedalaman(Hindu Budha kedalam Islam) demi mempertahankan pemburuan hegemoni kekuasaannya. Oleh karena itu, dalam menyikapi akulturasi budaya analisis dari perspektif sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Karena dalam proses Islamisasi di Indonesia tidak berjalan satu arah, tetapi banyak arah atau melalui berbagai macam pintu. Pintu-pintu itu, misalnya melalui kesenian, pewayangan, perkawinan, pendidikan, perdagangan, aliran kebatinan, mistisisme dan tasawuf. Ini semua menyebabkan terjadinya kontak budaya, yang sulit dihindari unsur-unsur budaya lokal masuk dalam proses Islamisasi di Indonesia. Oleh karena itu kita sebagai muslim, harus punya sikap kritis dalam melihat konteks akulturasi Islam dan budaya lokal dalam menelaah sejarah Islam di Indonesia. Kita harus punya pandangan, bahwa Islam itu bukanlah suatu sistem yang hanya membicarakan ke Tuhanan saja, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah mengandung ajaran peradaban (tamaddun) yang komplit atau lengkap.
3. Konteks Sistem Budaya Indonesia (sebuah bentuk akulturasi)
A. Budaya Keraton
Perlu dipahami bahwa dalam konteks budaya Indonesia, pernah mengalami apa yang dinamakan dualism kebudayaan, yaitu budaya keraton dan budaya populer. Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan dalam kebudayaan tradisional . Untuk pembahasan ini, kita akan melihat bagaimana pengaruh Islam di kedua bentuk kebudayaan tradisional itu. Namun sebelumnya perlu dijelaskan bahwa ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk mengenal kebudayaan. Pertama, siapa yang menciptakan kebudayaan; kedua, bagaimana bentuk-bentuk kebudayaan yang diciptakan itu, dan yang terakhir dampak apa yang ditimbulkan oleh kebudayaan itu.
Untuk konteks budaya istana atau budaya keraton, kebudayaan dikembangkan oleh abdi dalem atau pegawai istana, mulai dari pujangga sampai pandai bangunan (arsitek). Raja berkepentingan menciptakan simbol-simbol budaya tertentu dengan tujuan untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya bentuk-bentuk kebudayaan yang diciptakan untuk kepentingan itu adalah mitor. Di dalam sastra kerajaan, mitor-mitor itu dihimpun, misalnya dalam babad, hikayat, dan lontara . Hampir semua mitologi yang terdapat dalam bentuk-bentuk sastra, berisi cerita-cerita ajaib tentang kesaktian raja, kesucian, dan kekuatan-kekuatan supranatural. Sesungguhnya pengaruh yang hendak dicapai oleh penciptaan simbol-simbol budaya mitologis kerajaan ini, adalah agar rakyat senantiasa loyal, taat, dan patuh kepada kekuasaan raja. Sebagai missal, dalam babad tanah Jawi, raja digambarkan sebagai pemegang “wahyu” yang dengannya ia merasa sah untuk mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan untuk memerintah rakyatnya. Sultan Agung contohnya memiliki gelar Khalifatullah panatagama atau wakil Tuhan, di tanah jawa.
Selain mitos, budaya keraton juga memproduksi sastra mistik. Bila mitos ditujukan untuk mengukuhkan kekuasaan raja dan loyalitas rakyat, maka sastra mistik ditujukan untuk memberikan pengetahuan tentang kosmologi. Dalam hasanah mistik jawa misalnya, kita mengenal adanya sastra suluk yang menggambarkan konsep tentang – sangkan – paraning – dumadi, yaitu suatu konsep tentang realitas kosmos dan kedudukan manusia di dalamnya. Sastra-sastra mistik kerajaan semacam ini seolah-olah memberikan pesan, agar manusia dapat memahami dunianya dalam konteks kosmologi keraton.
Dua produk budaya yang bersifat mistis dan mistis yang diciptakan oleh keraton sama-sama bertujuan untuk mempertahankan Status quo kerajaan. Mitologi dan mistisisme keraton dalam rangka meligitimasikan kekuasaan mutlaknya dengan cara menciptakan silsilah genealogis, bahwa dia adalah keturunan dewa. Tapi anehnya, pada saat yang sama dia juga mengklaim sebagai keturunan para Nabi.
Yang menarik adalah bahwa ternyata betapa pun dalam kebudayaan keraton dominasi Hinduisme atau pun filsafat pra – Hindu terasa sangat kuat, namun pengaruh Islam pun meninggalkan bekas yang cukup kuat. Dalam silsilah genealogis raja-raja jawa, terlihat banyak sekali konsep yang dipinjam dari warisan mistik Islam. Meskipun raja Jawa diklaim sebagai keturunan para dewa suatu indikasi yang menunjukkan pengaruh Hinduisme, tapi akar genealogis teratas dilukiskan dalam konsep nur-roso dan nur-cahyo. Menurut silsilah keraton, nur-roso dan nur-cahyo inilah yang melahirkan Nabi Adam AS, dan dewa-dewa sebagai kakek moyang raja-raja jawa. Setelah nur-roso dan nur-cahyo, konotasinya bersifat jawa, tapi mengingatkan kita pada konsep Nur-Muhammad dalam khasanah mistik Islam. Jelas bahwa dari contoh ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa banyak budaya mistik Islam di pinjam oleh kebudayaan keraton Jawa; kendatipun ia justru dipakai untuk melegitimasi kosmologinya sendiri.
Demikianlah, di samping mewarisi tradisi filsafat Hindu atau pra- Hindu, budaya keraton Jawa, ternyata juga mewakili pengaruh Islam, betapa pun kita perlu mencatat adanya perdebatan tentang apakah yang terjadi adalah mistisme Jawa yang di Islamkan atau justru konsep-konsep Islam yang dijawakan.
Pertanyaannya sekarang; adalah bagaimana sikap kebudayaan keraton sendiri terhadap pengaruh Islam ini ? seberapa besar daya tahannya, dan seberapa besar pula pengaruh Islam terhadap pembentukan budaya jawa ? bagaimana tarik-menarik antara dua kekuatan budaya itu akhirnya menghasilkan sinkritisme ?
Dalam hubungan dengan konsep tentang kekuasaan, terlihat adanya perbedaan antara kebudayaan Jawa dan Islam. Dalam kebudayaan Jawa dikenal konsep mengenai kekuasaan mutlak raja. Sementara Islam menekankan konsep tentang raja yang adil, al-Malik-al-‘adl. Dalam Islam kekuasaan raja adalah keadilannya. Ini jelas berbeda dengan konsep jawa yang melihat kekuasaan dalam dimensi kemutlakannya.
Hal yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa budaya keraton di luar jawa memiliki konsep yang lebih dekat dengan gagasan Islam. Di Aceh, misalnya, raja memiliki sebutan sebagai al-Malik-al-‘adl. Ini berarti pula bahwa berbeda dengan kebudayaan keraton jawa yang lebih menekankan konsep kekuasaan, kebudayaan keraton di luar jawa lebih menekankan konsep keadilan.
Karena konsep kekuasaan mutlak yang diterapkan di dalam keraton jawa, maka timbullah dilema pertentangan antara jawa dengan Islam ketika proses islamisasi nusantara. Salah satunya yang terpenting adalah para persoalan tentang sosial kemasyarakatan. Konsep jawa mengenai ketertiban sosial lebih didasarkan pada konsep kekuasaan mutlak raja, sementara Islam mengajarkan bahwa ketertiban sosial masyarakat terjamin bila peraturan-peraturan syari’ah ditegakkan. Disinilah letak perbedaan yang sering menimbulkan ketegangan.
Contoh tentang konflik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang raja dari Demak. Siti Jenar dikenal sebagai seorang wali yang cenderung mistik yang sangat kuat. Jalan tarikat yang dia tempuh sering menimbulkan ketegangan dengan ketentuan-ketentuan syariah yang baku. Sering dengan kekuatan mistiknya menyebabkan ia meremehkan hukum-hukum yang sudah diadopsi oleh kerajaan oleh karena itulah Siti Jenar di hukum mati dengan cara dibakar (meskipun pada akhirnya, dia tidak mati).
Dari uraian mengenai budaya keraton dalam menghadapi pengaruh budaya Islam cenderung bersifat defensive. Pada kaum bangsawan dan kalangan istana menerima pengaruh-pengaruh tertentu dari Islam selama pengaruh-pengaruh tersebut dapat diadopsi untuk status quo kekuasaan jawa, dan dapat ditundukkan dalam konsep kosmologinya. Inilah sikap yang tampak menjadi karakteristik budaya keraton jawa dalam berhadapan dengan Islam, suatu sikap yang berbeda diambil oleh budaya keraton di luar jawa yang cenderung menerima sepenuhnya pengaruh Islam sebagai unsur pembentukannya yang utama.
B. Budaya Populer (Masyarakat Biasa)
Sama halnya di dalam budaya keraton, dalam budaya populer (budaya rakyat) juga dikenal adanya cerita-cerita mitologis dan mistis. Cerita mengenai wali songo menjadi bukti hal ini. Sebagai contoh sunan kalijaga, dalam kisah-kisah dari pantai Utara Jawa begitu terkenal sampai orang mempercayai adanya sebuah batu bekas sujudnya. Kisah semacam ini adalah salah satu contoh dari mitologi Islam di jawa.
Cerita-cerita mengenai penyebaran Islam dalam masyarakat jawa, banyak sekali diwarnai oleh mitologi-mitologi semacam ini. Sampai sekarang misalnya, kita sering mendengar adanya kiyai-kiyai sakti yang dapat shalat di Mekkah dalam waktu sekejap untuk kemudian pulang kembali ke pesantrennya.
Yang lebih pentng di amati, adalah meskipun kadang-kadang pengaruh budaya populer Islam menjadi berwarna mistis, tapi pada perkembangan berikutnya kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer Indonesia . Disinilah Islam sebagai agama yang bersifat universal, dengan pandangan hidup, mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistic sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dimensi, elastis, dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan oleh Gus Dur dengan “Pribumisasi Islam”.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak buktinya. Contoh Masjid Demak bentuk kongkret dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep “Meru” dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja. Hal ini melambangkan tiga atap keberagaman seorang muslim; Iman, Islam, dan ihsan”. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat; Barulah kemudian ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat, dan ma’rifat. Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing,, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu membawa kuil. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam.
Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlibat dalam bangunan-bangunan masjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian.
Selain itu, yang patut diamati pula kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia. Kota kata bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya populer. Demikian juga dalam ekspresi-ekspresi ritual, dan sosial dikenal upacara “tabut” (di Sumatera) untuk memperingati maulid Nabi, begitu juga di Jawa dengan upacara “Sekatennya”. Seni musik tidak kalah pentingnya, seperti : Terbangan, qasidah Rebana, dan gambus di daerah Jawa, Sumatera dan Sulawesi.
Dalam penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang “Arabi-sasi”, mana yang “Islamisasi”. Penggunaan dan sosialisasi terma-terma Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam, tetap penting dan signifikan, serta bukan seperti yang dikatakan Gusdur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran. Begitu penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata “nyembah Sang Hyang) adalah proses islamisasi, bukan arabisasi. Pola-pola seperti ini adalah merupakan karakter dasar Islam Nusantara.
Islam nusantara disebut sebagaisuatu entitas, karena memiliki karakter yang khas yang membedakan Islam di daerah lain, karena perbedaan sejarah, dan perbedaan geografis dan budaya yang dipijaknya. Selain itu Islam yang datang ke nusantara memiliki strategi dan kesiapan tersendiri, antara lain: Pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi, tradisi berseberangan apapun tidak dilawan, tetapi diapresiasi, kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah usang, sehingga Islam dapat diterima sebagai agama. Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka.
Dengan fakta-fakta sejarah tersebut, maka dapat disaksikan agama Islam dipeluk atau dianut oleh seluruh masyarakat nusantara. Bagi mereka yang memperoleh pengetahuan keagamaan yang memadai, mereka menjadi Islam santri yang taat. Sementara bagi mereka yang kurang memperoleh pengetahuan keagamaan, disebut dengan Islam abangan; mereka secara ritual tidak taat, tetapi mereka kukuh memegang tradisi, yang semuanya telah bernuansa Islami.
Bagi kalangan Islam nusantara, mereka ini telah dianggap sebagai muslimin, sementara kelompok Islam yang lain menganggap mereka sebagai orang belum muslim. Ketegangan Islam dengan kelompok abangan ini tercermin dalam ketegangan kelompok Islam dan nasionalis.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kehadiran Islam ke nusantara tidak lepas dari nuansa, dimana Islam itu lahir. Sungguhpun demikian, ia mampu beradaptasi dengan kebudayaan lokal, dimana Islam itu datang. Proses persenyawaan keislaman dengan kenusantaraan, menjadikan Islam yang ada di nusantara ini, mudah diterima oleh masyarakat. Tidak ada resistensi; yang ada adalah penyambutan. Sungguhpun ada modifikasi, itu tidak lebih pada injeksi nilai-nilai keislaman dalam tradisi yang telah ada.
Dalam perkembangannya, Islam nusantara dengan wataknya yang moderat dan apresiatif terhadap budaya lokal, serta memihak warga setempat dalam menghadapi tantangan, menyebabkan Islam mudah diterima sebagai agama baru.
Bukti nyata dari proses persenyawaan antara Islam dan budaya lokal, dapat ditemukan dalam bentuk karya Babad, hikayat, lontara, sastra suluk, mitologi. Kemudian dari segi bentuk arsitektur bangunan-bangunan atap masjid Demak yang berlapis sembilan “dari Meru” pra Islam, kemudian diganti oleh Sunan Kalijaga menjadi tiga yang melambangkan Iman, Islam, dan Ihsan. Budaya selamatan, Maulid Nabi, Yasinan, Sekaten. Dalam istilah, seperti wahyu, wali, ilham; juga dalam bidang seni, seperti qasidah rebana, gambus, penggunaan istilah shalat untuk menggantikan istilah sembahyang, dari kata “nyembah” Sang Hyang (unsur Hindu)



DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan. Demi Dakwah. Bandung: Al-Maarif,1976.

Arif, Syaiful. NU Pasca Tradiri. Pergeseran Nilai Pasca Orde Baru. Jakarta: Tasywirul Afkar Lakpesdam, 2009.

Arnold, Sejarah Dakwah Islam (The Preaching of Islam). Terj. Nawawi Rambe. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Hamkah, Sejarah Umat Islam, Jilid IV,Cet. Ke-3. Jakarta: Bulang Bintang, 1981.

Kunto Widjoyo. Paradigma Islam. Interpretasi untuk Aksi, Cet. Ke-7. Jakarta: Mizan, 1996.

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Cet. Ke-17. Jakarta: Djambatan, 1999.

Munawir, Imam. Kebangkitan Islam dan Tantangan yang Dihadapi. Jakarta: Bina Ilmu, 1984.

Mun’im DZ, Abdul. Meneguhkan Jangkar Islam Nusantara”. Tasywirah Afkar No.26 (2008): h. 7.

Nursyam. Islam Pesisir. Cet. I. Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2005.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1980.

Majid, Nurcholis. Islam, Doktrin dan Peradaban, Cet. VI. Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, 2008.

Soebardi. The Book of Cobolek”. The Haaq: Nijhoff, 1975.

Wahid, Abdurrahman, Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Cet. I. Jakarta: P3M, 1989.

Wahid, Abdurrahman, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Islam dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, dalam Budi Munawar Rasnian, eds. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mali Siparappe, Rebba Sipatokkong, Malilu Sipakainge, Sipakatau Sipakalebbi.
Komentar sahabat-sahabat sangat membantu saya untuk lebih baik "TERIMA KASIH SEBELUMNYA"
Bila sahabat-sahabat ingin TUKERAN LINK klik aja DI SINI

Bursa Jual Beli dan Sewa Menyewa