Jumat, 04 Juni 2010

Home » » ISLAM DAN BUDAYA LOKAL: MASALAH AKULTURASI TIMBAL BALIK

ISLAM DAN BUDAYA LOKAL: MASALAH AKULTURASI TIMBAL BALIK

Oleh : Anzar Abdullah

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran Islam di Nusantara (Indonesia) tentu bersentuhan dengan tradisi-tradisi yang berkembang di kawasan ini. Kehadirannya pun tidak serta merta melenyapkan tradisi yang ada, melainkan mempertahankannya, serta mewarnainya dengan corak keislaman.
Selain bersikap adaptif dengan budaya lokal, corak Indonesia di nusantara ini mewarisi tradisi yang berlangsung dari generasi ke generasi. Perjumpaan guru dan dan kesamaan bahan bacaan dan ritual menjadi titik temu, sehingga tidak terjadi persingguhan berarti dalam melakoni keberagamaannya. Titik temu itulah yang semestinya terus dikukuhkan untuk membangun citra Islam yang akhir-akhir ini mengalami tantangan dengan hadirnya corak berislam baru yang berjarak dengan tradisi nusantara.
Islam yang berkembang di Indonesia adalah merupakan suatu entitas, karena memiliki karakter yang khas, yang membedakan Islam di daerah lain, karena perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang geografis dan budaya yang dipijaknya. Selain itu, Islam yang datang ke Indonesia, juga memiliki strategi dan kesiapan tersendiri, antara lain. Pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi, tradisi apapun tidak akan ditolak, tetapi juga diapresiasi untuk dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah using, sehingga Islam diterima sebagai tradisi dan sebagai agama.

Ajaran Islam mengenai prinsip keadilan dan persamaan dalam tata hubungan kemasyarakatan, membuat Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Hal ini tentu sangat berhubungan dengan sistem pranata masyarakat nusantara pada waktu itu, yakni system kasta yang berasal dari ajaran Hindu-Budha. Dengan memilih Islam, yang mempunyai ajaran-ajaran dasar yang bersifat membebaskan ini, pada dasarnya telah menempatkan diri pada suatu kehidupan keagamaan yang mempunyai asas persamaan, kebebasan dan keadilan. Sehingga kedatangan Islam telah menempatkan mereka dalam posisi terhormat. Prinsip kesamaan (equity) inilah yang menjadi faktor pendorong masyarakat kota dan pantai pesisir nusantara tidak senang dengan ajaran kasta dalam agama Hindu, dan kemudian beralih memeluk Islam.
Islam yang bersifat moderat, toleran dan akomodatif tentu saja tidak dapat dilepaskan dari model-model dakwah yang dilakukan oleh para muballig dan ulama pembawa risalah Islam melalui cara-cara persuasive, adaptif, dan akomodatif, sehingga proses Islamisasi di nusantara berlangsung secara damai. Model dakwah yang dilakukan oleh wali songo (wali Sembilan) merupakan contoh sangat terkenal tentang proses Islamisasi melalui pendekatan persuasive, adaptif, dan akomodatif. Contoh: Metode Sunan Kalijaga sebagai seorang wali dari wali songo menjadikan seni pewayangan sebagai media dakwah yang paling kreatif. Sunan Kali Jaga sangat piawai memainkan peran dalang dalam meramu kesenian pewayangan menjadi hiburan mengasyikkan bagi masyarakat jawa ketika itu. Masyarakat dalam rangka datang untuk menikmati kesenian dan pentas pewayangan, tidak perlu membayar, “tapi cukup dengan membaca “Kalimat Syahadat”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah mengapa Islam dan budaya local dapat beradaptasi, bahkan cenderung bersenyawa dalam konteks ke Indonesia ?
Dari masalah pokok tersebut, lahir beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Mengapa Islam yang datang ke Indonesia mudah diterima oleh masyarakat sebagai agama dan peradaban?
2. Mengapa islamisasi di Indonesia mula-mula berlangsung disekitar masyarakat pesisir?
3. Faktor-faktor apa saja yang mendorong masyarakat Indonesia yang sebelumnya menganut ajaran Hindu-Budha, beralih menganut ajaran Islam?
4. Metode-metode apa saja yang dipakai oleh para pensyair agama Islam dalam melakukan proses islamisasi di Indonesia?
5. Bagaimana bentuk (wajib) akulturasi budaya Islam dan budaya lokal itu berlangsung di Indonesia?
C. Metode Pendekatan dan Analisis
Metode pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini, adalah metode filosofis, teologis, historis dan sosiologis kultural. Metode ini dipakai untuk menelaah, mengkaji, menganalisis hubungan-hubungan kausal antara fakta-fakta sejarah mengenai kajian kritis terhadap proses akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal.

II. PEMBAHASAN
Islam sebagai agama peradaban yang datang ke Indonesia, setelah agama Hindu dan Budha, telah mempengaruhi masyarakat dan budaya lokalnya di kawasan ini dengan sangat luas dan mendalam, dibanding dengan dua agama sebelumnya. Hal itu selain karena Islam mengajarkan persamaan, dan pembebasan; juga karena strategis penyebarannya. Islam disebarkan melalui perangkat budaya dan bahkan warisan agama lama yang masih ada, yang kemudian di islamisasi, yang dalam ushul fiqihnya disebut dengan al-a’dah muhakkamah. (adat yang ditetapkan sebagai hukum Islam) sebagaimana banyak dicontohkan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW.
Sebenarnya proses ini tidak bersifat sepihak dan satu arah, tetapi multi arah. Proses islamisasi budaya lokal oleh para wali sejak dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Maluku, sebenarnya dibarengi dengan proses penusantaraan atau peIndonesiaan nilai-nilai Islam, sehingga keduanya tidak saja bertemu, tetapi melebur menjadi entitas baru yang kemudian disebut dengan Islam Jawi atau Islam nusantara. Dari sini lahir sebagai kitab, serat, babad, dan seni. Dalam pengertian itulah Islam di Indonesia dipahami dan dijadikan istilah dalam gerakan Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah dewasan ini, sebagai pewaris Islam yang dibentuk oleh para wali dan para ulama besar yang datang sesudahnya.
Pengukuhan identitas ini penting, karena kelompok Islam Ahlu Sunnah Waljamaah yang bermazhab Syafi’i ini tidak banyak mencitrakan diri; sebaliknya selalu dicitrakan orang lain secara buruk dan semena-mena, seperti Islam tua, Islam kolot, Islam tradisional, Islam desa, Islam sinkritik, dan sebagainya. Dengan penamaan identitas Islam Nusantara ini, akan mengembalikan Islam pada ciri awalnya yang positi, adaptif, dan apresiatif terhadap masyarakat serta adat kebudayaannya; baru setelah itu diperkenalkan Islam sesuai dengan taraf berpikir dan kesiapan mental mereka.
Sebagai suatu istilah, islam nusantara (Indonesia) juga sangat memudahkan untuk di definisikan, karena istilah nusantara itu selain bersifat jami’ (mencakup), juga mani’ (menegas dan membedakan). Jami’ dalam arti bahwa Islam nusantara, ini meliputi kaum muslimin yang ada dikawasan Asia Tenggara, baik di Indonesia, Thailand, Malaysia, Brunei, Kamboja, Laos, Vietnam dan Filipina. Sedangkan mani’ dalam arti bahwa Islam Nusantara berbeda dengan Islam timur tengah atau Islam di Maghribi dan sebagainya.
Selanjutnya dalam proses terjadinya kontak antara Islam dan budaya local di Indonesia dalam pandangan Ahlus Sunnah Waljamaah, Islam datang ke Indonesia (Islam nusantara) yang telah melalui berbagai negara tersebut, merupakan Islam yang sangat matang; Islam yang sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi berbagai budaya dan tradisi yang dilalui, seperti Persia, India, Cina, Semenanjung Melayu, Filipina, sehingga ketika masuk ke Indonesia (nusantara), mereka dapat menyusun strategi dakwah yang pas. Strategi itu, tidak menimbulkan konflik, bahkan Islam dapat diterima diberbagai pusat kekuasaan.
Sementara pengaruh lingkungan budaya dalam ekspresi keagamaan lebih banyak lagi ditemukan dalam hal-hal praktis dan konkrit. Untuk negeri dan lingkungan budaya Indonesia, sarung merupakan contoh nyata yang dapat ditunjuk dengan mudah. Tidak ada universalitas dalam pakaian sarung. Namun ia secara kultur lokal telah menjadi lambing ke islaman. Maka tidak salah kalau penulis tidak setuju atau kurang senang kepada orang yang menyebut kaum muslim itu (Indonesia) sebagai kaum sarungan; apapun konotasi politiknya, yang ia maksudkan dengan penyebutan itu.
Dalam pengaruh yang lebih mendalam, faktor pengaruh kultur ini terwujud dalam bentuk budaya Arab dan Persia. Telah merupakan suatu ungkapan yang diterima secara umum bahwa kaum muslim sendiri harus mampu membedakan antara apa yang arab dan local. Contoh yang controversial ialah masalah hijab, sebagaimana telah dipermasalahan oleh H. Agussalim disuatu kongres JIB (Jong Islamieten Bond).
Tetapi yang semua orang setuju ialah sarung tersebut di atas, sarung mengandung nilai intrinsik Islam yang universal, yaitu kewajiban menutup aurat. Tetapi ia juga mengandung nilai instrumental yang lokal, yaitu wujud materialnya sebagai pakaian itu sendiri. Sebab ditempat lain, nilai Islam universal menutup aurat itu dilakukan dengan cara yang berbeda: gamis di Arabia, seruwal di India, dan pantaloon (celana) di negeri-negeri barat atau tempat lain yang sedikit banyak terbaratkan.
Akulturasi timbal balik dengan pengaruh yang lebih luas dan mendalam lagi ialah yang terjadi ialah antara budaya Islam dengan Persia. Kenyataan ini digambarkan oleh Imam Al-Gazali dalam karya-karyanya. Meskipun ia kebanyakan menulis dalam bahasa Arab, ia juga menulis beberapa buku dalam bahasa Arab, ia juga menulis beberapa buku bahasa Persia. Begitu juga dalam menjabarkan berbagai ide dan argumennya. Dalam menandaskan mutlaknya nilai keadilan ditegakkan oleh para penguasa, ia menyebut sebagai contoh pemimpin yang adil itu tidak hanya Nabi SAW dan para khalifah bijaksana seperti Umar bin al-Khattab. Tapi juga Anusyirwan, seorang raja Persia dari Dinasti Sasan.
Selain Al-Gazali, boleh dikatakan kebanyakan para ahli fikir Islam dalam segala bidang adalah dari bangsa Persia. Bahkan cukup menarik meskipun Persia atau Iran sekarang menganut paham Syiah namun hina dari para penulis kumpulan hadis Sunni, yiatu al-Kutub al-sittah, berasal dari latar belakang budaya Persia.
Selanjutnya akan dilihat bagaimana fungsi budaya lokal dalam Islam? Adanya kemungkinan akulturasi timbale balik antara Islam dan budaya lokal, diakui dalam suatu kaedah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushul fiqih, bahwa “adat itu dihukumkan” , yaitu “Adat adalah syariah yang dihukumkan. Artinya adat kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya adalah sumber hukum dalam Islam.
Berkenaan dengan itu, tidak perlu lagi ditegaskan bahwa unsure-unsur budaya lokal yang dapat atau harus dijadikan sumber hukum ialah yang sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip Islam dengan sendirinya harus dihilangkan. Inilah arti kehadiran Islam disuatu negeri. Karena setiap negeri atau wilayah pari mempunyai zaman jahiliyahnya sendiri sebagaimana yang dialami oleh bangsa Arab pada masanya.
Praktek-praktek jahiliyah sebelum Islam datang, seperti tahayul, mitologi feodalisme, ketidakpedulian terhadap nasib orang tertindas, pengingkaran hak asasi manusia, menentang persamaan umat, semuanya harus ditinggalkan dan diganti dengan ajaran tauhid paham Ketuhanan Yang Maha Esa; dan prinsip persamaan antara umat manusia (egalitarianism).
Jadi kedatangan Islam ke suatu wilayah atau negeri selalu mengakibatkan adanya perombakan masyarakat atau “pengalihan bentuk” transformasi sosial menuju yang lebih baik. Tapi pada saat yang sama, kedatangan Islam tidak harus “memotong” suatu masyarakat dari masa lampaunya, melainkan juga dapat ikut melestarikan apa saja yang baik dan benar dari masa lampau itu dan dapat dipertahankan dalam praktek ajaran universal Islam. Inilah yang dialami dan disaksikan oleh tokoh Sunan Kalijaga, salah seorang dari anggota Wali songo tentang masyarakat Jawa, ketika ia melihat feodalisme Majapahit dengan cepat sekali runtuh dan digantikan oleh egalitarisme Islam yang menyerbu dari kota-kota pantai utara jawa yang menjadi pusat-pusat perdagangan nusantara dan internasional. Kemudian Sunan Kalijaga memutuskan untuk ikut mendorong percepatan proses islamisasi transformasi itu, justru dengan menggunakan unsur-unsur budaya lokal guna menunjang efektivitas dari aspek teknis dan operasional dakwahnya. Salah satu yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media transformasi Islam ialah pewayangan (setelah dirombak, baik bentuk fisik wayang itu maupun cerita atau lakonnya) juga gamelan, yang dalam gabungannya dengan unsur-unsur upacara Islam populer dengan unsur-unsur upacara Islam populer menghasilkan tradisi sekaten di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta, dan Solo.
Sebagai wujud interaksi timbal balik antara Islam dan budaya lokal (dalam hal ini Jawa) banyak sekali adat Jawa yang kini tinggal kerangkanya, sedangkan isinya telah banyak diislamkan. Contoh yang paling menonjol dan masih bersifat polemik dikalangan sebagian umat Islam ialah upacara peringatan untuk orang-orang yang meninggal (setelah, 3, 7, 40, 100 dan 1000 hari) dan disebut “Selamatan” (acara memohon salamah- satu akar dengan kata Islam dan salam yakni kedamaian atau kesejahteraan). Upacara itu juga kemudian disebut “tahlilan” (dari kata tahlil) yakni membaca lafal Laa ilaaha Illa-llah secara bersama-sama, sebagai suatu cara yang efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam suasana keharuan.
Dalam ilmu Ushul Fiqh, budaya lokal dalam bentuk adat kebiasaan itu disebut ‘Urf (secara etimologis berasal dari akar kata yang sama dengan al-ma’ruf. Karena ‘Urf suatu masyarakat, mengandung unsur yang salah dan benar sekaligus, maka dengan sendirinya orang-orang muslim harus melihatnya dengan kritis, dan tidak dibenarkan sikap yang membenarkan semata, sesuai dengan prinsip Islam sendiri yang amat menentang tradisionalme. Berkenaan dengan hal ini, patut kita renungkan peringatan Allah SWT dalam kitab suci Al-Qur’an tentang argument yang sering diajukan orang-orang yang menutup diri (kafir) terhadap kebenaran, yang artinya:
Demikianlah kami (Allah) tidak pernah mengutus sebelum engkau (Muhammad) seorang pun pemberi peringatan (Rasul) dalam suatu negeri, melainkan kaum yang hidup berlebihan (kaya raya) di negeri itu tentu akan berkata “Sesungguhnya kami telah mendapatkan leluhur kami berjalan di atas suatu tradisi, dan kami tentulah mengikuti jejak mereka. Dia (Rasul) itu berkata, “Apakah sekalipun aku datang kepadamu dengan yang lebih benar daripada yang kamu dapatkan leluhurmu berada diatasnya?” mereka menjawab, “Sesungguhnya kami menolak apa yang menjadi tugasmu itu”. (Q.S. al-Zukhruf/43:23 – 24)

Jadi Al-Qur’an telah menegaskan apa yang di atas telah dijelaskan, bahwa Islam menentang tradisionalisme, yaitu sikap yang secara apriori memandang bahwa tradisi leluhur selalu baik dan harus dipertahankan serta diikuti. Prinsip ini dikatakan dalam suatu kerangka ajaran dasar yang mengharuskan kita selalu bersikap kritis. Sikap kritis ini sumber hukumnya adalah sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an.
Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang kami tidak mengerti. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani itu semuanya akan diminta bertanggung jawab atas hal itu.

Sikap kritis terhadap tradisi inilah yang menjadi unsur terjadinya transformasi sosial suatu masyarakat yang mengalami perkenalan dengan Islam. Dalam hal ini dapat dicontohkan dalam tradisi masyarakat Banjar yang diulas dalam buku “Islam dan Masyarakat Banjar” yang ditulis oleh Alfani. Menurut buku tersebut, pada proses masuknya Islam di Banjar “Kebudayaan Banjar telah memberikan bingkai dan Islam telah terintegrasikan ke dalamnya, dalam aspek upacara-upacara tradisional. Menurutnya banyak tradisi-tradisi masyarakat sebagai suatu praktik yang berfungsi merekatkan solidaritas kelompok diantara komunitas orang Banjar yang disebut bubuhan, teristimewa kalangan bangsawan, atau bubuhan raja-raja. Setelah Islam masuk ke wilayah Banjar, secara perlahan-lahan unsur-unsur Islam masuk ke dalam upacara tersebut atau bahkan mengikisnya sampai habis.
Pembauran Islam dengan budaya lokal tersebut mungkin dapat dilihat sebagai pencemaran atas kemurnian Islam. Tetapi perlu diketahui bahwa sebenarnya hal yang sama telah terjadi pula dimana-mana, sehingga kalau dipersoalkan hal seperti itu penulis khawatir bahwa jumlah umat Islam di dunia ini akan amat sedikit dibandingkan dengan angka yang selama ini diketahui.
Sebagai seorang ilmuwan, penulis mencoba member apresiasi terhadap keberagaman masyarakat, dan tidak serta merta menuduh mereka keluar dari Islam. Apa yang digambarkan oleh Al-Fani dalam upacara-upacara mandi-mandi pada masyarakat Banjar telah membuktikan kenyataan adanya proses islamisasi pada budaya lokal setempat. Seperti adanya banyu Yasin, dan banyu Burdah (air yang dibacakan atasnya surat Yasin denga syair Burdah), serta doa dalam upacara mandi-mandi, adalah bukti nyata masuknya unsur-unsur Islam dalam upacara tersebut.
Bagi orang Banjar meminta “Banyu Pil ungsur” (air yang dibacakan doa tertentu agar dapat melancarkan persalinan) untuk wanita yang akan melahirkan atau meminta “banyu tawar” (air yang dibacakan doa) kepada ulama demi kesembuhan dari suatu penyakit, bukan berarti mereka menolak dokter. Bagi mereka sebab kemudahan melahirkan atau kesembuhan dari penyakit hanya Allah SWT yang tahu, dan minta “banyu” adalah salah satu usaha ikhtiar dari menemukan sebab tersebut. Pandangan ini tentu sejalan dengan pandangan Asy’ariyah tentang hukum kausalitas sebagai kebiasaan bukan kepastian.
Kontras dengan pandangan Alfani Daud, Noordiansyah, seorang doktor perbandingan agama dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, telah memberikan penilaian yang sangat kritis terhadap praktik dan kepercayaan keagamaan tertentu di masyarakat. Noordiansyah menyerang apa yang disebutnya dengan “Sinkritisme”. Terma ini menurutnya, berarti suatu usaha mendamaikan atau mengharmoniskan berbagai doktrin atau praktik yang berbeda atau bertentangan. Konsep sinkritisme ini berguna untuk memahami gejala-gejala dalam masyarakat, dimana orang cenderung terlibat dalam suatu kegiatan, perbuatan, pemikiran yang didalamnya terdapat dua prinsip atau cara yang berlawanan yang menyangkut ajaran agama yang dianutnya.
Ada dua macam sinkritisme yang menurut penemuan penelitian Noordiansyah, yaitu Pertama sinkritisme dalam bidang tasawuf. Menurutnya, tasawuf yang benar adalah ajaran Islam yang menekankan etika; sedangkan tasawuf di masyarakat yang dianggapnya sinkritis adalah berupa pemujaan terhadap orang yang dianggap suci, baik sudah meninggal dunia ataupun belum (masih hidup). Kecenderungan masyarakat untuk mencari bacaan-bacaan atau wirid tertentu agar murah rezeki, dapat jodoh atau agar anak yang nakal menjadi baik, adalah imbas dari tasawuf yang sinkritis yang akhirnya memunculkan tokoh ulama atau Kyai yang “dikeramatkan” atau bahkan di “walikan”. Sinkritisme kedua, adalah sinkritisme dalam tradisi, yakni upacara pada Islam yang dapat digolongan atas tiga sinkritisme tradisi, yaitu:
(1) Pengakuan secara tidak nyata kepada adanya beberapa otoritas yang menentukan suasana kehidupan kini dan yang akan datang.
(2) Pengakuan itu mendasari cara kerja yang tidak memerlukan landasan hukum sebab akibat yang lazim dalam dunia empiris.
(3) Legitimasi cara kerja dan perbuatan yang sebenarnya bertentangan dengan Islam dengan pembacaan Al-Qur’an (missal: Yasin dsb) shalawat atas Nabi, dengan doa selamat untuk menimbulkan kesan bahwa cara-cara atau perbuatan itu telah dapat dibenarkan menurut agama yang dianut yaitu Islam.
Baik sinkritisme tasawuf maupun sinkritisme tradisi, keduanya harus ditolak, karena menurut Noordiansyah sinkritisme cenderung kepada tindakan yang irrasional, yaitu berusaha mencapai tujuan-tujuan yang bersifat material melalui tindakan ritual. Hal ini tentu saja tidak akan membawa kepada kemajuan, karena cenderung mengabaikan hukum kausalitas yang bersifat reaktif atas kesulitan yang tengah dihadapi, ketimbang upaya kreatif untuk menuju masa depan yang lebih baik. Selain itu sinkritisme seringkali berdasarkan pada rasa nostalgia kepada kultur masa silam, yang meskipun wajar, adalah suatu pandangan ke belakang yang juga tidak menuju kemajuan.
Akar dari tumbuh suburnya sinkritisme, menurut penulis cukup kompleks. Salah satu penyebabnya adalah pengajaran ilmu tauhid (baca: sifat dua puluh) dengan pendekatan logika yang sulit dipahami oleh masyarakat. Demikian pula pengajaran ilmu tasawuf yang cenderung kepada nalar spekulatif ketimbang pada penghayatan. Etis. Keadaan ini kemudian diperparah oleh taraf pendidikan masyarakat yang rendah dan kondisi ekonomi yang buruk.
Terlepas dari adanya kritik dan perlawanan dari para ulama dan akomodasi, upacara-upacara tradisional dan kepercayaan yang melatarbelakangi masih tetap hidup dimasyarakat hingga kini. Namun menurut Talal Asad seorang Antropologi terkemuka, sebuah tradisi sebenarnya tidak pernah ada yang terlepas dari masa lalunya, masa kini, dan masa yang akan datang. Tradisi selalu hidup dalam ruang dan waktu para pelakunya. Karena itu untuk menilai mengapa sebuah tradisi tetap eksis, maka orang harus melihat bagaimana relasi-relasi kuasa (power relatims) di masyarakat berperan dalam mempertahankan dan mengembangkan sebuah tradisi. Dengan kata lain, bahwa sebagian dari tradisi itu masih tetap eksis, dan sebagian lagi telah ditinggalkan; menunjukkan bahwa otoritas yang mendukung dan yang menolak masih sama-sama mempengaruhi hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu menurut penulis, bukan sinkritismenya yang menjadi faktor utama, tetapi adalah bagaimana kita melihat bahwa Islam itu adalah agama moderat yang bersifat universalisme (Al-‘Alamiyah) yang agung Islam sebagian agama yang besar memiliki karakteristik Rabbaniyah; insaniyyah (humanistic); sejumul (totalitas) yang mencakup unsur keabadian, universalisme dan menyentuh semua aspek kehidupan manusia (ruh, akal, hati dan badan), wa’athiyah (moderat dan seimbang); waqi’iyyah (realitas). Jelas dan gambaran integrasi antara al-Tsyabat wal-milrunah (permanen dan elastis).
Universalisme Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untku semua umat, segenap ras, dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dialah bangsa yang terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya.
Risalah Islam adalah hidayah Allah untuk segenap manusia dan rahmat-Nya untuk semua hamba-Nya. Manifesto ini termaktub dalam firmannya “dan tidak kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam” “Katakanlah (Muhammad) agar ia menjadi juru peringatan bagi seru sekalian alam”.
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagi manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya yang mencakup aspek aqidah, syariah dan ahlaq (yang seringkali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup), menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari enam tujuan umum, yaitu syariah, menjamin kesalamatan agama, badan, akal, keturunan, harga dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan yang luhur, yang dapat dikatakan sebagai tujuan dasar syariah, yaitu: keadilan, ukhuwah, takaful, kebebasan dan kehormatan.
Benar kata Hudgson, tradisi tidak ubahnya sebuah resep kue yang dapat dihidangkan dalam berbagai bentuk makanan. Dalam kondisi apapun dan kapanpun tradisi benar-benar terus hidup, barangkali juru masak akan menemukan suatu cara bahwa resep itu sendiri dapat diperbaiki dalam kondisi yang berubah-ubah. Simbol-simbol yang diambil dari kreatifitas lokal kerap digunakan menjadi kemasan agar tradii tetap kelihatan menarik.
Universalisme simbolik yang diangkat dari tradisi tentu mengandung nilai agama (religion) dan kehidupan sosial yang sarat dengan Wisdom (kearifan). Inovasi tradisi yang kental dengan adat seperti adat kebudayaan, slametan, kondangan atau berkatan: pada awalnya justru hasil olahan budaya lokal yang pada proses inovasi selanjutnya diramu dengan tradisi zikir, sehingga dikalangan komunitas di Indonesia lebih populer dengan sebutan tahlilan.
Dihampir semua ritual dan upacara adat dalam sistem religi di Indonesia, khususnya di Jawa, slametan merupakan unsur pokok. Dikalangan santri atau masyarakat jelas berkepentingan untuk mengolahnya lebih lanjut karena ada unsur kedekatan dengan spirit ajaran shadaqah atau sedekah yang dianjutkan agama disamping sebagai media sosialisasi nilai-nilai ukhuwah (persaudaraan). Maka dalam konteks ukhuwah, maksud mengadakan slametan hanyalah memelihara rasa solidaritas (mempererat tali pertemanan, persaudaraan, kekurangan, dan ketetanggaan) untuk menciptakan suasana damai bebas dari rasa permusuhan dan prasangka terhadap orang lain.
Ditinjau dari aspek ketahanan sosial (social insurance), budaya slametan sebagai konsep ta’awun atau tolong-menolong ini merupakan strategi yang paling tepat untuk menangkal kerawanan sosial, khususnya dilingkungan ketetanggaan, untuk menciptakan suasana damai, bebas dari rasa permusuhan dan prasangka terhadap orang lain.
Adapun unsur-unsur zikir atau pembacaan kalimat thayyibah yang menyertai pelaksanaan slametan, dimaksudkan agar ritual adat yang diadakan menjadi barokah sebagai amal ibadah yang mendapatkan ridho-Nya dengan suatu pengharapan supaya hajat baik yang telah diniatkan dapat dikabulkan oleh Allah SWT. Sebab nabi bersabda “ash-shodaqotu tadfa’ul bala’, bahwa bersedekah itu dapat mencegah terjadinya ancaman mara bahaya atau gejolak sosial.
Impelementasi pilihan strategis gerakan akulturasi budaya yang sering dilakukan dikalangan pesantren tradisional melalui eksplorasi budaya lokal sebagaimana telah dicontohkan pada kasus sholawatan dan slametan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan melakukan revitalisasi dan reinvensi tradisi merupakan upaya kreatif dan cerdas, yakni dengan mengangkat sistem nilai yang ada dalam ajaran Islam terhadap penggalangan sistem simbol. Pada arus simbolik inilah sebenarnya telah terbentuk idenditas lokal yang khas melalui proses transformasi sosial keagamaan. Untuk sosial ini, maka di dalam suatu masyarakat perlu suatu integrasi yang harmonis. Integrasi sosial harmonis itu mencakup pengalaman-pengalaman individu yang merasa memiliki terhadap kelompok sosial berdasarkan atas tukar-menukar norma, nilai-nilai keyakinan bahkan kepentingan-kepentingan. Pada tataran ini, dialog antar budaya lokal maupun tradisi yang berkembang dimasyarakat saling berproses dan mempengaruhi. Di dalam masyarakat, khususnya di kalangan santri, integrasi sosial merupakan wujud narasi keselarasan yang dapat dibangun melalui inprovisasi teks atau penjabaran lebih konkret dalam bentuk berkesenian (penciptaan tradisi lokal). Dari sifat kebakuan menjadi elastis. Sebagai contoh syiar dakwah tentang nilai-nilai agama tidak saja didengungkan lewat khotbah di atas mimbar-mimbar mesjid, tetapi juga bisa lewat sarana yang lain seperti berkesenian. Kesenian wayang kulit atau kontrung , yang merupakan bentuk kreativitas lokal sebagai media dakwah yang bersifat edukatif sekaligus berfungsi rekreatif. Sehingga tanpa harus dikesankan “sakral”, orang-orang dari berbagai latar belakang budaya dapat menikmati secara bebas dan mengambil hikmah dengan penuh kesadaran.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam yang datang ke Indonesia mudah diterima sebagai agama dan peradaban, disebabkan: Pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi. Tradisi yang bertentangan dengan Islam tidak ditolak, tetapi diapresiasi, kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan lama, sehingga dapat hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang mendinamisir tradisi yang sudah usang sehingga Islam diterima sebagai agama. Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak dapat meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka. Kelima, Islam datang membawa ajaran kebebasan, persamaan dan universalisme, menghargai demokrasi dan hak asasi manusia.
Islamisasi mula-mula berlangsung dimasyarakat pesisir (pantai) nusantara; disebabkan para mubhalig atau tokoh-tokoh ulama penyiar Islam, umumnya terdiri dari pedagang, sehingga kontak pertama mereka adalah dengan masyarakat pesisir, kemudian baru kepedalaman.
Faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia sebelum datangnya Islam memeluk agama Hindu-Budha, kemudian setelah Islam datang mereka beralih kepada agama Islam; disebabkan faktor bahwa Islam tidak membedakan atau menggolong-golongkan masyarakat, sehingga masyarakat beralih kepada agama Islam yang mengajarkan prinsip persamaan, dan kebebasan.
Proses Islamisasi di nusantara (Indonesia) dilakukan melalui media kesenian, perdagangan, perkawinan, dan pendidikan (tasawuf) pondok pesantren. Dan mengenai bentuk-bentuk akulturasi timbal-balik antara budaya lokal dengan Islam, antara lain: slametan, kondangan, mauludan, tahlilan, upacara sekatenan, upacara mandi-mandi di dalam masyarakat Banjar (air yang dibacakan surat Yasin), dan sebagainya.
B. Implikasi
Dalam mengkaji dan menelaah akulturasi budaya lokal dan Islam sebagai arus timbal balik, maka seharusnya kita berpedoman kepada para ulama yang berkata: Al-Adah syariah muhakkamah ( adat adalah syariah yang dihukumkan ). Dan adat kebiasaan (‘Urf ) itu dalam syara harus dipertimbangkan. “Al-ma’ruf; urfan ka al-masyruthsyarthan, wa al-tsabit bi al urf ka al-tsabit bi al-nashsh (yang baik menurut adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi, dan yang mantap benar dalam adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan yang mantap benar dalam nash).
Semua uraian di atas harus mengantarkan kita kepada suatu etos memelihara yang lama, yang baik dan mengambil yang baruyang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qurtubi, Sumanto. Arus Cina, Islam, Jawa. (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003), h.112-113.

Asad, Talal. The of an Anthropology of Islam. (Washington: CCAS. Goergetown University, 1986). H.61.

Al-Gazali. Siraj-al-Thalibin. Syarah kitab Al-Gazali, Minhaj-al-Abidin) 2 Jilid (Surabaya, tt).

Budiman, Amin. Wali Songo: Antara Legenda dan Fakta Sejarah. (2 Jilid) (Semarang: 1982).

Daud, Alfani. Islamisasi Upacara Mandi-Mandi di Kalangan Masyarakat Banjar. Religiku Vol. I No. 1 (Juni 2000), h. 69-92.

G.S. Hudgson, Marshall. The Future of Islam (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 112-113.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 344-350.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991).

Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin Peradaban. (Cet.VI. Jakarta: Paramadina-Dian Rakyat, 2008), h. 545.

Mun’im, DZ. Abdul. Mengukuhkan Jangkar Islam Nusantara. Tasywirah Afkar, No.26 (2008): h.2.

Noordiansyah. Sinkritisme (Banjarmasin: Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari, 1982), h.3.

Q.,S. al-Zukhruf (43): 23-24.

Q.,S. al-Isra (Bani Israil) 17:36.

Noorsyam. Islam Pesisir (Cet. I Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2005), h. 269.

R.Roff, William. Islam Obscurred? Some Reflections on Studies of Islam on Society in South east Asia, Archipel. Vol. 29 (1985), h. 1-34.

Salim, Ifran. Islam dan Akulturasi Budaya Lokal. Isnet Hompage. 26 Nopember 2009.

Susetiawan. Konflik Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 217.

Syahristani, al-Milal-Wa-al-Nihal. (Beirut: Darl-al-Fikr, tt), h.10.

Wahid Hasyim, Mustofa. Hari-hari Bercahaya (Yogyakarta: Gita Nagari, 2003), h.109.

Wood Ward, Mark.R.ed. Jalan Baru Islam (Jakarta: Mizan, 1998), h.91-95.



Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mali Siparappe, Rebba Sipatokkong, Malilu Sipakainge, Sipakatau Sipakalebbi.
Komentar sahabat-sahabat sangat membantu saya untuk lebih baik "TERIMA KASIH SEBELUMNYA"
Bila sahabat-sahabat ingin TUKERAN LINK klik aja DI SINI

Bursa Jual Beli dan Sewa Menyewa